Memang sudah beberapa tahun ini pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, melakukan moratorium pemekaran daerah otonom. Tapi dari pemberitaan di media massa, masih saja ditemukan aktivitas tim sukses di beberapa daerah yang berencana mengusulkan pembentukan daerah otonom baru.
Namun, tidak banyak tercium informasi, tentang upaya pemisahan Purwokerto dan Jember dari kabupaten induknya. Padahal tidak jauh dari Purwokerto, ada kota Banjar, yang berada di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.Â
Banjar yang sebetulnya tidak seramai Purwokerto, menjadi kota otonom pada tahun 2003, terpisah dari induknya, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.Â
Contoh lain adalah Kota Serang, Banten, mendapatkan status otonom pada 2007. Tapi harus diakui, Serang punya kelebihan lain ketimbang Purwokerto atau Jember, yakni statusnya sebagai ibu kota provinsi Banten.
Apalagi kalau kita berbicara tentang kota otonom baru di luar Jawa, terlalu panjang jika disebutkan satu persatu. Tahun 2002 misalnya telah diresmikan berdirinya Kota Pariaman di Sumatera Barat, terpisah dari induknya Kabupaten Padang Pariaman.Â
Oke, mungkin kota Pariaman relatif sudah dikenal. Tapi bagaimana dengan Kota Subulussalam? Kota ini menjadi daerah otonom pada 2007 dan terletak di Aceh bagian selatan, pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil. Namun demikian, bagi masyarakat di luar Aceh, mungkin tidak banyak yang mendengar nama kota ini.
Tentu bukan maksud tulisan ini untuk memperdebatkan kenapa kota yang "kecil" sudah sah jadi daerah otonom. Jelas hal itu sudah melewati tahapan yang dipersyaratkan oleh Kementerian Dalam Negeri.Â
Tapi yang ingin disampaikan adalah, kalau kota-kota yang dinilai "kecil" itu sudah layak, agaknya sudah saatnya Jember dan Purwokerto, juga berjuang mendapatkannya. Perjuangannya harus dimulai dari sekarang, sehingga bila kelak moratorium pembentukan kabupaten atau kota baru sudah tidak berlaku lagi, kedua kota di atas telah siap.
Masalah yang mungkin mengganjal adalah belum ikhlasnya kabupaten induk melepaskan kota yang justru selama ini jadi lumbung pendapatan asli daerah (PAD) di kabupaten masing-masing.Â
Padahal, bila kedua kota itu dilepas, akan muncul peluang untuk berkembangnya kota baru yang dipilih menjadi ibu kota kabupaten, tempat bupati berkantor. Pada gilirannya, perekonomian di kota baru ini juga bergulir, melahirkan sejumlah lapangan kerja.