Jika berbicara mengenai obat yang tepat untuk diberikan kepada seseorang yang menderita penyakit tertentu, tentu yang paling berkompeten adalah apa yang disampaikan oleh seorang dokter. Itupun dokter harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu, untuk mengetahui apa  penyakit yang sesungguhnya, karena bisa saja apa yang terlihat pada fisik seseorang hanyalah akibat, bukan penyebab.
Tapi tentu dokter bukan orang yang ahli di semua hal, buktinya tidak banyak dokter yang ahli dalam bidang komunikasi. Mungkin banyak di antara kita yang tidak puas saat berkonsultasi dengan dokter yang gaya komunikasinya sangat irit dalam berbicara, dan ingin cepat-cepat menulis resep obat.
Atau kalau pun ada dokter yang mampu berkomunikasi dengan baik, termasuk dalam menggunakan media sosial, waktunya mungkin yang tidak tersedia, karena sudah sibuk dengan pekerjaan utama.
Akhirnya jangan heran kalau di dunia maya, dokter-dokteran, maksudnya mereka yang bukan dokter tapi bertingkah seperti seorang dokter, lebih unggul dalam membentuk opini publik tentang apa yang harus diminum atau dimakan, agar daya tahan tubuh kita kuat, katakanlah untuk membendung virus corona.
Kakak saya punya dua anak yang jadi dokter, dan dua menantunya juga dokter. Tapi semua dokter tersebut tak mampu menghentikan kebiasaan kakak saya yang paling sering meneruskan berita di media sosial tentang manfaat berbagai tanaman, buah-buahan, cairan, ramuan, atau bahan apapun, yang diklaim berkhasiat menangkal berbagai macam penyakit, khususnya virus corona.
Tanpa mengecek dulu apakah berita tersebut layak dipercaya atau tidak, kakak saya langsung menyebarkan ke beberapa grup percakapan, termasuk di grup yang beranggotakan keluarga besar kami.Â
Dulu anak-anaknya yang dokter biasanya akan memberikan komentar yang mengajak anggota grup berpikir jernih. Sekarang apakah karena kesibukan atau sudah tahu ibunya tidak bisa dilawan, tak ada lagi komentar atas apa yang diposting kakak saya itu. Artinya, kepada anggota yang membaca, dipersilakan untuk percaya atau tidak.
Tapi ada yang lebih parah dari kakak saya. Seorang teman saya kebetulan juga punya anak yang menjadi seorang dokter. Tapi setiap ia sakit, obat dari anaknya jarang diminum, lebih memilih pengobatan alternatif. Ia terlanjur punya persepsi negatif bahwa obat-obatan dari dokter adalah "racun" bagi tubuh. Ia baru mau minum obat dari dokter saat kondisi penyakitnya sudah parah dan tidak tertolong oleh obat-obatan herbal.
Ia juga paling anti memeriksa darah atau air seninya di laboratorium klinik. Padahal, ketika pernah dirawat di rumah sakit tiga tahun lalu, kolesterolnya pernah mencapai angka 300 (maksimal yang dianggap sehat adalah 200). Katanya, jika kita tahu kalau kita sakit, malah jadi tidak nyaman.
Kebetulan teman saya ini tinggal di Bekasi, sedangkan anaknya bekerja di sebuah puskesmas di Pandeglang, Banten. Saya sendiri relatif sering berkomunikasi dengan teman ini melalui sebuah grup media sosial.
Setiap malam sebetulnya si anak sering menelpon orang tuanya, dan sering "memarahi" karena diam-diam teman saya itu sudah sering pergi jalan-jalan dengan teman pengajiannya ke luar kota. Dari foto-foto jalan-jalannya yang saya lihat di akun media sosialnya, kelompok pengajian ini termasuk yang tidak mematuhi protokol kesehatan.
Saya yang ngeri melihat kelakuan teman ini, mengirim pesan secara japri, meminta agar ia berhati-hati. Eh, malah saya diceramahi tentang teori konspirasi dari WHO (badan PBB yang mengurus kesehatan). Â Teman saya merasa pemerintah cenderung menakut-nakuti masyarakat.
Baik kakak saya, maupun teman saya, baru memasuki masa pensiun sebagai pegawai negeri. Jadi, keduanya punya waktu luang yang banyak, dan baru "pintar" sebagai penikmat media sosial. Sebelumnya boleh dibilang gaptek alias gagap teknologi. Topik pengajian dan kesehatan merupakan hal yang paling digemarinya.
Masalahnya, kakak saya terlalu cekatan bertindak, meneruskan konten yang menarik perhatiannya ke grup media sosial lain. Justru anak-anak mereka yang jadi dokter, dengan usia relatif muda, di awal 30-an tahun, yang lebih mampu menyaring informasi.Â
Padahal, ada anggapan umum, anak muda sekarang lebih ceroboh, cenderung tidak melakukan check and recheck dalam bermedia sosial. Bahkan tidak sedikit anak muda, yang saking kreatifnya, mengunggah konten yang kontroversial, cenderung menyesatkan, demi meraih tanggapan yang ramai dan heboh. Termasuk dalam hal ini konten tentang kesehatan.
Jadi, berbicara tentang generasi milenial dalam aktivitasnya bermedia sosial, terbagi dalam dua kelompok, yakni yang mengedepankan nalar, dan yang kurang menggunakan nalar, baik yang ikut memproduksi konten yang akurasinya diragukan atau yang sekadar menyebarkannya.
Sedangkan para orang tua, lebih banyak sebagai korban ketidaktahuan, namun tidak sadar bahwa mereka tidak tahu. Justru orang tua ini merasa terbantu dengan nasehat dari dokter-dokteran itu. Begitulah faktanya saat ini, ketika semua orang bisa jadi "dokter".Â
Parahnya, bila demikian banyak orang yang yakin bahwa yang ditulis dokter-dokteran itu sebagai hal yang benar, ya sudah, inilah saat matinya kepakaran medis. Apa memang seperti itu yang kita mau?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H