Membandingkan suasana hari raya idul adha, Jumat (31/7/2020) kemarin, dengan suasana idul fitri dua bulan sebelumnya, bagi saya tidak mengalami perbedaan yang berarti. Artinya, saya dan keluarga masih dalam kondisi waspada tingkat tinggi.
Satu-satunya kemajuan yang saya alami, pada Jumat kemarin saya ikut salat ied di masjid dekat rumah saya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Pada idul fitri yang lalu, jujur saja, saya tidak ikut salat ied.
Saya berani salat ied karena saya sudah sering ikut salat Jumat di masjid tersebut. Menurut pengamatan saya, jemaah masjid beserta pengurus cukup patuh menjalankan protokol kesehatan, yang terlihat dari pengecekan suhu tubuh di depan masjid, tersedianya cairan pencuci tangan, semua jemaah wajib pakai masker, dan ada jarak antar jemaah.
Hanya saja, pada salat Jumat tidak ada jemaah wanita yang ikut, karena memang tidak diwajibkan. Nah, saya sengaja mewanti-wanti istri saya yang juga ingin ikut salat ied, untuk ekstra hati-hati. Soalnya, ini kali pertamanya ia ke masjid lagi, sejak terjadi pandemi Covid-19 di negara kita.
Tidak hanya memakai masker, istri saya juga saya minta memakai sarung tangan. Sehabis salat dan mendengar khutbah, saya bilang ke istri saya agar buru-buru pulang. Tidak perlu bersalaman dengan ibu-ibu yang dikenalnya, apalagi cipika-cipiki. Cukup saling tersenyum saja.
Tentu bukan tanpa alasan saya berlaku demikian. Sampai hari ini, DKI Jakarta masih tergolong rawan. Bahkan, penambahan warga yang terpapar virus corona setiap harinya cenderung mengalami kenaikan.
Jadi, rasanya saya tidak berlebihan menyikapi kondisi yang terjadi dengan penuh kewaspadaan seperti itu. Saya dan istri masih kalah waspada ketimbang beberapa jemaah yang tadi memakai pelindung wajah.
Setelah selesai salat ied, lagi enak-enaknya saya dan istri makan ketupat opor ayam di rumah, tiba-tiba ada telepon masuk dari Payakumbuh, Sumatera Barat, kota kelahiran saya.
Ternyata saudara-saudara saya beserta keluarganya masing-masing, lagi berkumpul di rumah kakak tertua saya. Hanya kakak tertua itu yang sehari-hari tingal di sana. Yang lainnya datang dari Padang serta tiga kota di Riau, yakni Pekanbaru, Duri, dan Dumai.
Sudah terbayang di benak saya, betapa sangat meriah suasana idul adha di rumah kakak saya itu. Ini seperti balas dendam karena pada idul fitri yang lalu, masih dalam kondisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sehingga waktu itu silaturahmi antar saudara hanya melalui video call.
Dari cerita kakak saya, mereka baru saja selesai salat ied di lapangan bola yang tak jauh dari rumah kakak itu. Dan yang membuat saya heran, ternyata salat ied di sana sama sekali tidak mengikuti protokol kesehatan. Banyak jemaah yang tak pakai masker dan jarak antar jemaah sangat rapat sebagaimana halnya salat berjemaah dalam kondisi normal.
Saya menilai hal tersebut sebagai kebablasan. Memang, dari data harian yang saya pantau, Sumatera Barat dan Riau, relatif terkendali dalam mencegah meluasnya pandemi Covid-19. Tapi sebagai daerah terbuka, ancaman pandemi belum betul-betul berakhir.
Justru saya mengkhawatirkan para perantau yang kata kakak saya banyak yang pulang kampung. Wajar saja kalau para perantau pulang kampung mengingat sekarang syarat untuk terbang semakin gampang, cukup ikut rapid test dengan biaya yang relatif murah. Bahkan, bagi yang pulang melalui jalur darat, tidak ada kewajiban tes seperti itu.
Para perantau tersebut, dugaan saya banyak yang datang dari daerah berkategori merah, seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Palembang. Inilah yang menjadi sumber kerawanan baru. Pertama, karena rapid test konon akurasinya tidak begitu tinggi. Kedua, telah banyak terbukti terjadinya penularan Covid-19 dari orang tanpa gejala (OTG).
Jangan sampai daerah yang sudah berhasil mengendalikan pandemi, akibat kecerobohan masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan, termasuk para perantau yang bertindak ceroboh, akhirnya pandemi di negara kita yang mulai terlokalisir di beberapa provinsi saja, akan menyebar lagi ke semua penjuru.
Kebetulan saya juga memantau dari siaran berita televisi tentang penyelenggaraan salat ied di sejumlah tempat di beberapa kota. Foto di atas, yang menggambarkan salat ied si halaman Masjid Agung Al Azhar, Jakarta Selatan, relatif tertib dalam menjaga jarak antar jemaah.
Namun tidak demikian dengan di banyak tempat salat ied yang lain yang sama-sama berada di Jakarta. Jarak antar jemaah yang rapat dan sebagian jemaah tanpa memakai masker, sungguh mendatangkan kekhawatiran.
Jangan sampai hari raya kurban memakan banyak korban berupa semakin meningkatnya jumlah warga yang terpapar virus corona. Ini akan terlihat pada statistik tentang hal tersebut pada beberapa hari mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H