Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Raya Kurban dan Kesalehan Simbolik Kelas Menengah

30 Juli 2020   19:07 Diperbarui: 30 Juli 2020   19:08 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari raya Idul Adha atau disebut juga hari raya kurban, pada tahun ini berlangsung di tengah suasana yang kurang menggembirakan, karena adanya pandemi Covid-19. Namun demikian, tidak berarti jumlah hewan kurban yang akan dibagikan kepada masyarakat yang layak menerimanya akan  jauh berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Seperti terlihat dari liputan salah satu televisi swasta, Senin (27/7/2020) lalu, atau 4 hari sebelum hari raya kurban, seorang pedagang hewan kurban di Jalan Martadinata, Jakarta, dengan gembira menyatakan omzet penjualannya naik ketimbang tahun lalu. Pedagang yang lain meskipun mengaku mengalami penurunan omzet, tetap gembira karena penurunan itu tidak terlalu jauh.

Kalaupun memang secara keseluruhan jumlah hewan kurban berkurang, masyarakat bisa memaklumi. Bukankah sekarang banyak karyawan perusahaan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK)? Pasti sebagian mereka yang tahun lalu masih ikut membeli hewan kurban atau menyetorkan uangnya ke panitia di masjid yang dipilihnya, tahun ini tidak bisa lagi melakukan hal yang sama.

Namun demikian, kalau kita amati khusus bagi masyarakat kelas menengah ke atas, kegairahan untuk berkurban tidak meredup meskipun lagi pandemi Covid-19. Pembatasan sosial bukan penghalang. Toh, transaksi pembelian hewan bisa dilakukan secara online dan bisa diserahkan ke yayasan tertentu untuk pengurusannya. Bagi mereka, berkurban itu soal mudah.

Diakui atau tidak, dalam soal beribadah atau dalam mematuhi ajaran agama, masyarakat di era sekarang, rasanya lebih tekun atau lebih patuh ketimbang era jadul, katakanlah kalau dibandingkan dengan era Orde Baru. Tentu saja hal tersebut antara lain berkat kemajuan teknologi informasi.

Jadi, bahwa internet berdampak negatif dengan banyaknya anak muda yang kecanduan menonton konten pornografi, tak dapat dipungkiri. Namun demikian, di sisi lain, konten religius juga sangat gampang ditemukan dan punya banyak penggemar pula.

Bahkan, kembali fokus ke kelas menengah di perkotaan, di zaman Orde Baru, perhatian mereka tidak begitu besar terhadap masalah agama. Sekarang mereka mayoritas berhijab (bagi yang wanita), tentu dengan konsep yang modis sesuai dengan kemampuan finansialnya yang tinggi sebagai warga kelas menengah ke atas

Ada sebuah buku yang mencoba memotret kesalehan simbolik kelas menengah Indonesia saat ini. Penulisnya adalah Wasisto Raharjo Jati dan buku yang ditulisnya berjudul Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia, yang diterbitkan oleh LP3ES (cetakan pertama, 2017).

Kesalehan simbolik yang dicontohkankan oleh penulisnya tergambar dari mereka yang memakai jilbab mewah, pergi umrah plus, mengikuti jemaah pengajian berkelas, ikut jemaah zikir, serta rajin sedekah ke panti asuhan anak yatim piatu. Hal ini ditafsirkan oleh banyak orang sebagai fenomena kebangkitan kelas menengah muslim Indonesia yang menakjubkan.

Tapi, sekadar bahan renungan saja, betulkah itu kebangkitan yang menakjubkan secara substansial? Nah, ini yang perlu dikritisi, jangan-jangan malah banyak orang yang memperlihatkan kesalehan simbolik seperti itu, motivasinya karena ingin dipamerkan di media sosial. Dan yang bertepuk tangan adalah para pebisnis yang menjual produk dan jasa berlabelkan syariah atau label lain yang dikaitkan dengan agama.

Kalau dulu mereka yang saleh identik dengan kurang gaul atau kurang piknik, itu tidak berlaku lagi bagi kelas menengah sekarang. Simbol-simbol modernitas pun lekat pada mereka. Pengajian atau berzikir bisa secara online, demikian juga dalam berkurban.  Gaya hidup mereka memenuhi unsur luxury, fashionable, dan marketable.

Jangan heran, mereka tidak sekadar pergi umrah saja, tapi shopping di Dubai, Doha, atau Istanbul. Kesalehan tidak harus miskin, tidak harus anti belanja. Sekarang (maksudnya sebelum pandemi Covid-19), paket wisata yang dikemas khusus untuk kelas menengah muslim, terbilang laris.

Masalahnya adalah, meskipun kelas menengah rajin memberikan sedekah, termasuk berkurban di momen Idul Adha, gaya hidup yang dianutnya sangat mungkin dilihat dengan rasa iri oleh masyarakat muslim kelas bawah, yang sekadar untuk makan sehari-hari saja susah. Bahkan, gara-gara pandemi, jutaan orang terkena PHK dan hanya berharap dari bantuan sosial.

Maka berkurban saja, walaupun itu jelas-lelas membantu, tetap belum cukup, jika kita berbicara dalam bingkai ke-Indonesia-an. Berkurban memang ibadah yang kasat mata, sehingga sangat menggugah bagi mereka yang mementingkan kesalehan simbolik. Nama mereka yang berkurban, terinci dengan jumlah berapa ekor hewan yang dikurbankannya, tercatat rapi pada arsip panitia kurban.

Jika yang berkurban tersebut seorang pejabat tinggi, biasanya juga akan diliput oleh media massa. Yang tidak kebagian diliput, boleh saja pasang foto sendiri di akun media sosialnya. Tentu saja tidak mungkin ada pelarangan memamerkan kesalehan simbolik di media mana pun, termasuk media sosial.

Mudah-mudahan saja makna berkurban yang seseungguhnya juga dijiwai dengan baik oleh mereka yang berkurban, karena bukankah kurban itu sendiri bersifat simbolik? Ada pemuka agama yang mengatakan menyembelih hewan kurban dimaknai sebagai menyembelih sifat kebinatangan yang ada pada diri manusia, seperti rakus, angkuh, dan mau menang sendiri.

Apapun itu, setiap ibadah seyogyanya dilakukan semata-mata karena Allah, sebagai bukti ketakwaan kepada Sang Pencipta. Khusus untuk berkurban, ibadah ini juga berdimensi sosial dengan tujuan yang amat mulia, yakni terjalinnya hubungan antar manusia yang lebih harmonis, antara yang mempuyai kelebihan rezeki dengan yang kekurangan. Pada akhirnya, kita berharap, kesenjangan kesejahteraan dapat dikurangi.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun