Tentang setoran ini, bisa bersifat tetap, misal setiap bulan disetorkan ke DPLK sebesar Rp 250.000. Sedangkan bagi karyawan dari perusahaan tertentu, bisa dengan memakai sistem debet otomatis misalnya 5 persen dari gaji bulanan. Bagi pekerja kreatif dengan penghasilan yang tidak tetap, ketika dapat uang banyak, bisa saja disetorkan satu kali saja, misalnya Rp 100 juta.Â
Dalam hal ini, pilihan investasi yang tersedia terdiri dari Pasar Uang (PU), Pendapatan Tetap (PT), Saham (S) dan Kombinasi (K). Bagi mereka yang menginginkan hasil investasi yang standar dengan risiko yang kecil, pilihannya adalah PU dan PT. Â
Investasi dalam PU lazimnya berupa deposito atau surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) sesuai dengan suku bunga pasar yang berlaku. Sedangkan investasi dalam PT biasanya dibelikan pada obligasi yang suku bunganya telah ditetapkan sebesar persentase tertentu sepanjang umur obligasi, sekitar 3 sampai 5 tahun.
PT relatif sedikit lebih tinggi imbalannya dari PU, tapi dari sisi risko juga sedikit lebih besar. Ingat, dalam investasi berlaku hukum "high risk, high return". Maksudnya, risiko dan imbalan itu berbanding lurus, semakin besar imbalan, semakin besar pula risikonya.
Adapun yang paling besar risikonya dan sekaligus berpotensi untuk menerima imbalan yang juga besar ketika perekonomian lagi bagus-bagusnya adalah investasi dalam bentuk saham. Tapi bila pasar sedang goyang, bisa mendatangkan kerugian. Ya, ada unsur spekulasinya juga, tapi dalam jangka panjang, cenderung menguntungkan.
Sedangkan yang berbentuk kombinasi, adalah gabungan dari PU, PT, dan S, dengan komposisi diserahkan kepada peserta DPLK. Bagi yang konservatif, tentu unsur S lebih kecil, sedangkan yang bertipe agresif, unsur S-nya lebih besar.
Sebagai contoh, penulis artikel ini, pada tahun 2014, kebetulan dapat rezeki nomplok Rp 100 juta. Maka selain sudah punya program DPLK dari potongan gaji setiap bulan, timbul niat buat menambah investasi di DPLK sebesar Rp 90 juta, setalah yang Rp 10 juta digunakan buat belanja.
Ada keinginan untuk bereksperimen, dengan membagi tiga jumlah tersebut ke dalam pola investasi yang berbeda. Maka, dilakukanlah investasi di DPLK milik sebuah bank BUMN masing-masing sebesar Rp 30 juta dalam bentuk PU, PT, dan saham.
Apa yang terjadi pada posisi akhir September 2020 lalu, atau sekitar 6 tahun setelah berinvestasi? Dari Rp 30 juta modal awal, pada PU berkembang tajam menjadi Rp 57,8 juta. Yang berupa PT lebih bagus lagi, menjadi Rp 62 juta. Sedangkan yang paling parah adalah berupa saham, yakni Rp 32 juta.
Jelaslah, investasi dalam saham memang membuat jantungan mereka yang bertipe konservatif. Soalnya, ketika posisi PU dan PT masih di kisaran Rp 45 juta, posisi saham pernah Rp 48 juta. Tapi, begitulah, dengan terjadinya pandemi, harga saham ibarat terjun bebas. Dengan posisi sekarang Rp 32 juta, masih lebih baik, karena pada Juni 2020 angkanya hanya Rp 28 juta, lebih rendah dari pokok semula yang Rp 30 juta.
Adapun pola PU atau PT, lebih cocok untuk mereka yang bertipe konservatif. Memang kenaikan investasinya relatif kecil, tapi konsisten. Tanpa terasa, setelah 6 tahun, jumlah investasi sudah berlipat dua. Bisa dibayangkan bila seseorang mulai berinvestasi di DPLK pada usia 25 tahun, maka saat pensiun pada usia 55 tahun, kenaikannya paling tidak sudah belasan kali lipat.