Kebetulan anak perempuannya bekerja sebagai pegawai negeri, sedangkan menantu lelakinya, bekerja di sebuah bengkel motor. Upah di bengkel diduga tidak sebesar gaji pegawai negeri. Hal ini semakin memperkuat hipotesis Linda, bahwa  istri yang bekerja, cenderung berani melawan suaminya.Â
Sebetulnya saya tidak percaya sepenuhnya dengan pendapat Linda. Kebetulan pengalaman saya dan saudara-saudara saya sendiri tidak ada yang seperti itu. Namun di lingkungan keluarga besar saya, kebetulan meskipun rata-rata yang menjadi istri juga punya pekerjaan, tapi penghasilannya masih di bawah penghasilan suaminya.
Dugaan saya, jika penghasilan si istri lebih besar, tanpa disadarinya memang akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi. Sang istri tidak begitu ketakutan apabila karena sesuatu hal ditinggalkan oleh suaminya.
Adapun istri yang tidak bekerja, atau yang bekerja tapi dengan penghasilan lebih rendah, akan punya ketergantungan pada setoran dari suaminya. Hal inilah yang kemungkinan membuat si istri lebih menghargai si suami.
Tapi apakah betul soal penghargaan bagi pasangan hidup lebih ditentukan oleh faktor ekonomi seperti itu? Kok rasanya alasan tersebut terlalu dangkal. Menurut saya, pada akhirnya terpulang pada karakter dan budi pekerti kedua pihak, ya istrinya, ya suaminya.
Saya sendiri sering menasehati anak gadis dan juga keponakan perempuan saya, agar mereka rajin belajar dan nantinya mempunyai pekerjaan sebelum berumah tangga. Pekerjaan tersebut tidak harus menjadi pegawai yang bekerja di kantor dari pagi hingga sore, tapi bisa juga berwiraswasta yang dapat dilakukan dari rumah.
Namun demikian, saya sama sekali tidak mengharapkan mereka kurang menghargai suaminya kelak, meskipun misalnya penghasilan suaminya lebih kecil. Tidak harus juga seperti Linda yang sangat memanjakan suami, tapi setidaknya, tidak berkata kasar pada suaminya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H