Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dukungan Sapardi Djoko Damono terhadap Penyair Generasi Milenial

21 Juli 2020   08:10 Diperbarui: 21 Juli 2020   08:12 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahwa betapa syahdunya puisi-puisi Sapardi Djoko Damono (selanjutnya ditulis Sapardi), tentu sudah sama-sama kita maklumi. Saya sengaja memakai "kita", karena berasumsi semua pembaca Kompasiana, bisa merasakannya.

Kalau saya saja yang sangat awam mengenai puisi bisa merasakan kesyahduannya, apalagi teman-teman kompasianer yang sering menulis puisi. Penulis puisi biasanya juga sering membaca puisi karya penyair-penyair senior. Dan salah seorang dari sedikit penyair senior yang banyak diidolakan penyair generasi muda adalah Sapardi.

Sebetulnya, berpulangnya Sapardi ke rahmatullah, Minggu (19/7/2020), bukanlah hal yang terlalu mengejutkan, mengingat usia beliau yang sudah mencapai 80 tahun dengan kondisi kesehatannya yang tidak lagi prima. 

Usia rata-rata orang Indonesia jauh di bawah 80 tahun, sehingga sewaktu Sapardi berulang tahun ke 80 sekitar empat bulan lalu, beliau pun "mempertanyakan" kenapa Tuhan masih memberinya kesempatan untuk menikmati kehidupan. Makanya misi Sapardi adalah ingin menciptakan iklim kesusastraan yang lebih akrab dengan anak zaman now.

Jangan heran bila Sapardi begitu dikenal oleh generasi milenial. Bukankah generasi sekarang sangat trampil menulis, terutama di media sosial? Meskipun awalnya mungkin semacam curhat dalam bentuk tulisan, tapi lama-lama tulisan dalam bentuk puisi menjadi pilihan banyak anak muda dalam menuangkan pikiran atau perasaannya. Puisi-puisi Sapardi menjadi salah satu acuannya.

Meskipun di atas telah disinggung bahwa berpulangnya Sapardi mungkin bukan berita mengagetkan, namun ternyata ada banyak sekali ditemukan tulisan spontan sebagai ungkapan dukacita, termasuk melalui lebih dari seratus tulisan di Kompasiana.

Seperti yang diberitakan kompas.com (19/7/2020), almarhum Sapardi dimakamkan di TPU Grititama, Bogor, pada sore hari Minggu tersebut. Acara pemakaman hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat, lantaran pihak keluarga tidak menginginkan ada banyak orang yang memadati kawasan pemakaman. Tentu hal ini berkaitan dengan pencegahan Covid-19.

Kendati secara fisik Sapardi telah tiada, warisan yang ditinggalkannya sungguh tidak ternilai. Akan sangat panjang bila satu persatu karya Sapardi dituliskan di sini, meskipun hanya judul-judulnya saja.

Saya merasa beruntung karena bisa hadir di acara Kompasianival, 8 Desember 2018 di Lippo Mall, Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, salah satu yang saya tunggu adalah penampilan Sapardi yang sempat membacakan beberapa puisinya. Tentu bukan tanpa maksud Sapardi bersedia tampil di Kompasianival, karena berbagai festival seperti itu, menjadi salah satu strategi Sapardi untuk mengakrabi generasi milenial.

Dekat dengan musisi dan penyanyi juga menjadi strategi beliau. Walaupun perlu dicatat, para musisi pun  juga banyak yang berinisiatif untuk mendekati Sapardi karena terpikat dengan puisi-puisi beliau.

Pada dasarnya puisi-puisi Sapardi sudah merupakan nyanyian itu sendiri, sehingga tak heran banyak dijadikan materi untuk musikalisasi puisi. Mempopulerkan sastra di kalangan generasi milenial melalui jalur musik dan juga film, boleh dikatakan berhasil. Buktinya sekarang dunia kesusastraan tidak lagi dianggap sebagai hal yang menyeramkan atau hal yang aneh bagi anak muda.

Maka sekarang, berkat perjuangan Sapardi, kita telah memetik hasilnya. Ada banyak anak muda berbakat menjadi penerus gaya berpuisi Sapardi yang bernyanyi tersebut. Tak perlu jauh-jauh, di Kompasiana saja, menurut saya, paling tidak ada belasan kompasianer yang produktif menghasilkan puisi-puisi yang layak bersanding dengan penyair papan atas negeri ini.

Kompasiana menjadi wadah yang mampu menampung kreativitas secara spontan, sehingga peranannya sungguh strategis. Apalagi kesempatan bagi para penulis puisi untuk mempubilaksikan karyanya di media cetak arus utama, sangat terbatas sekali. 

Sebagai contoh, harian Kompas yang rutin saya baca, tidak lagi memberi tempat bagi puisi. Padahal, hingga tahun lalu, setiap terbitan edisi Sabtu, Kompas masih memuat puisi, tentu setelah diseleksi dari banyak sekali puisi yang diterima redaksinya. Sekarang, rubrik sastra yang masih terdapat di Kompas, hanya berupa cerpen saja, yang terbit setiap hari Minggu.

Kembali ke sosok Sapardi, yang juga menarik untuk dikenang, beliau ternyata merupakan satu di antara segelintir sastrawan yang sukses secara intelektual. Dalam bidang pendidikan formal, pujangga kelahiran Solo 20 Maret 1940 ini adalah alumni Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. 

Sapardi kemudian bekerja sebagai dosen di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia dan pernah menjabat sebagai dekan untuk periode 1995 hingga 1999. Tak heran bila penampilan Sapardi jauh dari gambaran penyair jadul yang terkesan urakan dan berambut gondrong.

Selamat Jalan Sapardi Djoko Damono. Sapardi-Sapardi lainnya siap melanjutkan perjuanganmu sebagai pahlawan yang memajukan kesusastraan Indonesia, termasuk yang dilakukan teman-teman kompasianer yang konsisten menulis puisi.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun