Setiap menghadiri acara resepsi pernikahan, saya selalu berusaha datang tepat waktu. Bahkan mengingat kemacetan di Jakarta yang susah diprediksi, sering pula saya sudah sampai di tempat resepsi sekitar 15 menit sebelum acara dimulai sesuai waktu yang tertera di undangan.
Bayangkan kalau acaranya molor 15 menit, artinya sekitar 30 menit lamanya saya "membuang" waktu. Tapi saya sendiri merasa lebih baik datang terlalu cepat ketimbang terlambat. Pertama, saya lebih gampang mencari tempat parkir kendaraan. Kedua, posisi saya buat bersalaman dengan kedua mempelai, lebih ke depan.
Nah, yang ketiga ini yang paling penting, saya bisa menikmati acara dari awal. Biasanya ada atraksi kesenian tradisional sesuai daerah asal pengantin, yang ditampilkan pada saat pembukaan. Saat iring-iringan mempelai beserta keluarganya memasuki gedung resepsi menuju panggung pelaminan, akan didahului oleh kelompok penari tradisional.
Kemudian biasanya setelah kedua mempelai dan dua pasang orang tua mempelai sudah duduk di atas pelaminan, pertunjukan kesenian daerah masih saja berlanjut dan menjadi hiburan tersendiri bagi para undangan.
Di negara kita, acara resepsi pernikahan adalah peristiwa budaya. Tidak hanya pertunjukan kesenian, tapi dekorasi dan busana mempelai beserta keluarganya, dengan jelas bercirikan budaya dari etnis tertentu.
Tentu budaya yang dipakai merupakan hasil kesepakatan dari kedua pengantin beserta masing-masing keluarganya. Jika keduanya berasal dari etnis yang sama, misalnya sama-sama Jawa, ya sudah pasti nuansa Jawa sangat terasa.
Tapi bila sebagai misal seorang lelaki Jawa berjodoh dengan wanita Sunda, maka tinggal dimusyawarahkan, apakah mau pakai cara Jawa atau Sunda. Alhamdulillah, sejak saya menjadi warga DKI Jakarta tahun pada akhir dekade 80-an lalu, saya sudah menghadiri resepsi pernikahan yang merepresentasikan berbagai budaya.
Tidak hanya Jawa, Sunda, atau Betawi sebagai warga mayoritas di Jakarta. Namun juga budaya Aceh, Batak, Melayu-Deli, Minang, Melayu-Palembang, Lampung, Banjar, Bali, Bugis, Minahasa, dan beberapa suku lainnya, telah menambah wawasan saya tentang kebudayaan tradisional.
Beberapa jenis tarian daerah malah disambut dengan begitu antusias oleh para hadirin di suatu resepsi. Contohnya, Tari Piring dari kesenian Minang, di mana terdapat adegan penari yang menginjak-injak pecahan piring secara atraktif dan menimbulkan decak kagum penonton karena tidak sedikit pun melukai penarinya.
Lain lagi yang mendahului iring-iringan pengantin ala Sunda. Selalu diawali oleh adegan tarian lucu dari aki-aki (kakek) berpakaian Sunda dan juga diiringi musik tradisional Sunda. Si kakek ini juga memberikan kata-kata lucu, namun sebetulnya berisi nasehat bagi kedua pengantin.
Belum lagi kalau kita berbicara keindahan sastra lisan dari masing-masing daerah. Budaya berpantun di masyarakat Betawi, Melayu, Minang, dan suku lainnya, sungguh menarik. Dalam budaya Minang disebut juga dengan pepatah-petitih yang ucapannya mengandung pengertian yang dalam, luas, dan bernilai filosofis.