Justru pengurus paguyuban yang dibentuk untuk setiap kelas ini biasanya dipimpin oleh orang tua siswa yang kaya. Lalu entah sudah dibisiki oleh guru wali kelas atau murni ide dari pengurus, akan diputuskan besarnya iuran bulanan untuk paguyuban yang harus dibayar setiap siswa.
Tujuan uang tersebut antara lain untuk membeli AC dan membayar biaya listrik yang boros dengan adanya AC itu tadi. Kemudian juga sebagai cicilan untuk acara study tour di akhir tahun pelajaran, dan mungkin juga kado buat para guru.
Kemudian kas paguyuban lazim pula dipakai untuk sumbangan sosial, termasuk untuk membeli buah tangan bila ada siswa atau orang tuanya yang sakit atau mendapat musibah.
Belum lagi bila ada kegiatan pentas seni, berbagai perlombaan, atau event lainnya, biasanya juga membutuhkan biaya yang akhirnya menjadi beban para siswa.
Masih ada lagi biaya yang relatif besar, sekarang zamannya setiap siswa punya laptop, sekaligus perlu biaya paket internet yang lumayan mahal. Apalagi sejak pandemi Covid-19 sekarang yang membuat siswa terpaksa belajar dari rumah.
Ada seorang teman yang punya pengalaman unik. Sebagai pensiunan dengan penghasilan per bulan yang tidak sampai sebesar UMR di DKI Jakarta, dia bersyukur ketika tahun lalu anak bungsunya yang seorang perempuan, berhasil masuk SMA negeri di kawasan Jakarta Selatan.
Tapi sayangnya, istri teman ini merasa minder kalau lagi ada acara paguyuban orang tua siswa. Ia merasa kalah kelas. Si anak pun juga merasa tidak cocok bergaul dengan teman-teman satu kelasnya.
Alhasil, si anak pun pindah ke sekolah swasta, setelah hanya bertahan satu semester di sekolah negeri yang bebas biaya SPP. Ia memilih membayar SPP di sekolah swasta, tapi uang paguyubannya kecil dan para orang tua siswa lain rata-rata juga kelas menengah ke bawah, yang tidak membuat si anak dan orang tuanya minder.
Jadi, apakah tepat atau tidak disebut susu tante atau susu dara, yang jelas sekolah negeri tidak betul-betul bebas dari biaya. Sekarang sekolah negeri menjadi pilihan bagi orang-orang yang berduit. Ada saja ide brilian untuk aktivitas siswa yang akhirnya membutuhkan biaya.
Itulah yang menyebabkan sekolah negeri belum tentu ramah bagi minoritas siswa yang berasal keluarga berpendapat rendah di tengah mayoritas kalangan berpunya.