Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengenal Metode Beriklan: ATL, BTL, TTL, dan Iklan Tersamar

27 Oktober 2020   15:02 Diperbarui: 30 Oktober 2020   08:37 2431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengambil keputusan tidak selalu mudah meskipun untuk hal yang rutin dilakukan sehari-hari. Contohnya, di sebuah keluarga yang sering memesan makanan untuk makan siang atau malam, sekadar memutuskan mau makan apa, bisa makan waktu lama. 

Hal itu terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak punya ide, dan hanya bilang terserah kepada anggota keluarga lainnya. Sebetulnya masing-masing anggota keluarga sudah punya apa yang disebut dengan top of mind (selanjutnya ditulis dengan TOM saja, biar gampang). Maka, mereka bilang terserah, maksudnya agar orang lain yang memilihkan, agar ada variasi dalam jenis makanan yang disantapnya.

Namun, karena semua tak punya ide, ya akhirnya yang dipesan itu-itu lagi, sesuai dengan TOM itu tadi. Contoh TOM itu, bila mereka ingin makan ayam goreng, otomatis langsung ingat gerai waralaba tertentu. Seolah-olah telah terpatri pada alam bawah sadar seseorang. Padahal ada banyak restoran yang terkenal dengan menu ayam gorengnya.

Produk yang berhasil menjadi TOM tersebut tentu karena berbagai faktor. Terlepas dari produk yang bermutu (dalam hal makanan berarti yang lebih enak rasanya), pelayanan yang baik, gampang dijangkau karena gerainya tersebar, sebetulnya ada faktor lain yang tak kalah penting, yakni karena keefektifan promosinya.

Tak heran, untuk mengejar TOM, sebuah perusahaan berani menggelontorkan dana yang besar. Bisa jadi, dari total harga pokok sebuah produk, biaya yang dikeluarkan untuk promosi sama besarnya dengan biaya memproses bahan baku menjadi produk yang siap untuk dijual. 

Sebagai misal, untuk produk obat-obatan yang dijual bebas, justru komponen iklan menjadi penyumbang biaya yang relatif besar. Jadi, bila konsumen membeli sekotak obat berisi 30 butir kapsul berharga Rp 100.000, sebetulnya Rp 50.000 di antaranya untuk penggantian biaya iklan yang dilakukan produsen.

Masalahnya, akibat persaingan bisnis yang makin ketat, tak terelakkan lagi, pada beberapa produk sejenis dengan spesifikasi yang mirip, terjadi perang iklan. Maka, pertanyaannya, iklan yang seperti apa yang lebih efektif?

Pertanyaan itu penting bagi pelaku usaha, mengingat ada kecenderungan masyarakat sendiri mulai bosan melihat iklan, karena saking banyaknya iklan bersliweran. Bukankah sudah begitu banyak brosur yang dibagikan petugas dari sebuah perusahaan yang oleh si penerima langsung dibuang ke tong sampah sebelum dibaca?

Begitu pula iklan yang dikirim langsung melalui email, pesan singkat, atau bentuk lain yang sejenis. Sekarang hal ini sudah pada tahap menjengkelkan, sehingga tanpa dibacapun, iklan seperti itu langsung dihapus.

Telepon dari nomor tidak dikenal ikut-ikutan menjadi korban. Soalnya, banyak orang yang malas menerima telpon dari nomor tak dikenal karena sudah berburuk sangka, pasti si penelpon menawarkan sesuatu, misalnya dari sales asuransi, kartu kredit, dan sebagainya.

Kemudian coba dipikirkan, siapa yang masih setia membaca media cetak? Sudah jarang bukan? Lalu iklan pun banyak beralih ke media daring, yang terkadang bikin kesal pembacanya, karena terasa mengganggu. Yang diklik beritanya, tapi yang muncul malah iklan. Demikian pula beriklan di televisi, sudah banyak yang tak peduli, karena masyarakat mulai beralih menonton video streaming di media sosial.

Baik, pada intinya ada beberapa kategori iklan bila mengacu pada buku teks mahasiswa yang belajar di jurusan bisnis. Pertama, yang disebut dengan above the line (ATL).  Biar lebih gampang, sebaiknya diberikan contoh. 

Anggaplah ada sebuah bank BUMN yang punya jaringan kantor di semua kabupaten di tanah air. Maka, untuk iklan ATL, akan dikelola oleh kantor pusatnya. Biasanya ada kalimat penutup pada iklannya yang berbunyi: "segera hubungi kantor cabang kami di kota anda".

Adapun media iklan untuk ATL yang terbanyak muncul di televisi, radio, koran, majalah, dan billboard yang terpasang di berbagai lokasi strategis. Boleh disebut bahwa ATL bermaksud menyapu semua audiens meskipun bukan target market-nya. 

Paling-paling, bila beriklan di televisi, waktu beriklan dan program acara siarannya yang dipertimbangkan. Iklan produk rumah tangga biasanya ditempelkan pada sinetron yang ditayangkan dari siang hingga sore hari, yang banyak disukai ibu-ibu.

Adapun iklan yang menyasar sasaran secara langsung kepada kelompok yang memenuhi kriteria tertentu adalah memakai metode yang kedua, yang disebut dengan below the line (BTL). Aktivitas BTL jika mengacu pada contoh bank di atas, dilakukan oleh kantor-kantor cabangnya dengan menggelar event tertentu yang menawarkan hadiah bagi pengunjung atau bagi mereka yang membuka rekening baru.

Kegiatan telemarketing di mana ada petugas pemasaran bank yang menelpon sasarannya, atau mengirimkan email, SMS blast, dan yang sejenis itu kepada sekelompok calon pelanggan, juga bagian dari BTL. Jelaslah bahwa ATL dan BTL saling melengkapi.

ATL bertujuan untuk membangun awareness, semakin sering terlihat atau terdengar oleh masyarakat, akan berpotensi tertanam di benak mereka sebagai TOM untuk kategori produk tertentu. Lalu, dengan BTL, masyarakat yang sudah aware tadi, tanpa mereka sadari digiring untuk menggunakan produk atau jasa yang diiklankan, apalagi bila diiming-imingi dengan pemberian hadiah atau potongan harga.

Makanya, adakalanya rasionalitas masyarakat menjadi tumpul karena digempur iklan yang bertubi-tubi yang diserang dari atas (ATL) dan dari bawah (BTL).  Tak heran, setelah berbelanja, ada yang menyadari bahwa mereka sebetulnya tidak memerlukan barang atau jasa yang telah dibelinya.

Selain ATL dan BTL, ada metode ketiga, yakni iklan yang tersamar. Umpamanya, melalui kegiatan corporate social responsibilities (CSR) yang sama sekali tidak mempromosikan suatu produk (namun logo perusahaan muncul pada kegiatan sosial tersebut). Hal ini bagus untuk menggerakkan awareness masyarakat. 

Iklan yang dibungkus berupa berita (disebut juga advetorial), atau produk yang muncul sekelabat dalam kisah di sebuah film atau sinetron, bisa juga disebut sebagai iklan tersamar. Teknik seperti ini menjadi solusi untuk menyasar kelompok yang tidak suka melihat iklan.

Kemudian, ada teknik yang relatif baru yang belum banyak ditulis dalam buku teks anak kuliahan, yakni beriklan memalui media daring, media sosial, website resmi perusahaan, atau melalui aplikasi tertentu. Termasuk pula di sini promosi dengan memanfaatkan jasa influencer, endorser dan buzzer. 

Apakah iklan yang menggunakan jaringan internet ini termasuk ATL atau BTL, agak susah memisahkan batasnya, karena sudah tercampur. Makanya, pakar pemasaran mengkategorikannya sebagai metode tersendiri atau menjadi metode yang keempat, yaitu metode through the line (TTL).

Kesimpulannya, ada beberapa metode beriklan yang biasa diterapkan. Sebuah perusahaan tak bisa mengandalkan pada salah satu metode saja, perlu dikombinasikan antar beberapa metode. Tapi metode mana yang akan diperbanyak, dan metode mana sebagai pendamping, perlu pengkajian yang matang, sebelum dieksekusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun