Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Renungan di Hari Koperasi, Menghidupkan Kembali Nilai Gotong Royong

12 Juli 2020   00:07 Diperbarui: 12 Juli 2020   09:14 1842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini Minggu, 12 Juli 2020, bangsa Indonesia memperingati Hari Koperasi. Peringatan ini mengacu kepada pelaksanaan Kongres Koperasi yang pertama kali diselenggarakan sejak kemerdekaan Indonesia. Kongres tersebut berlangsung di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada tanggal 12 Juli 1947.

Namun demikian, jauh sebelum itu, ketika masih di era penjajahan Belanda, gerakan koperasi sudah mulai tumbuh di Indonesia, atau saat itu masih disebut dengan Hindia Belanda.

Koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Gerakan ini merupakan semacam "perlawanan" terhadap gerakan ekonomi bergaya kapitalis yang mengutamakan pemupukan modal. Sedangkan bagi koperasi, justru gotong royong antar sesama anggotanya yang menjadi modal utama.

Jika di suatu perusahaan terdapat satu orang pemodal yang memiliki saham mayoritas, maka orang tersebut bisa menguasai perusahaan itu. Hal ini di koperasi tidak berlaku. Karena semua anggota punya hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam pengambilan keputusan dalam forum rapat anggota. 

Bisa jadi simpanan masing-masing anggota, dilihat per individu relatif kecil. Tapi dengan berhimpunnya banyak anggota, yang juga aktif bertransaksi di koperasi tersebut, maka secara akumulatif menjadi kekuatan untuk mengembangkan usaha.

Boleh dikatakan bahwa kerja sama merupakan roh dari koperasi yang dalam bahasa Inggris disebut dengan cooperation. Kerja sama ini jika dilihat dalam budaya Indonesia, tak salah bila disebut dengan gotong royong. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gotong royong adalah bekerja bersama-sama, tolong menolong, atau bantu membantu. Gotong berarti bekerja dan royong artinya bersama.

Jadi jelaslah, koperasi itu lebih demokratis dan kekutannya ada pada kebersamaan para anggotanya. Makanya jumlah anggota yang banyak, menjadi salah satu indikator keberhasilan koperasi. Tapi tentu yang dimaksudkan di sini adalah anggota yang tertib dalam menyimpan uang simpanan, baik dalam jumlah yang tetap setiap bulan, maupun dalam jumlah yang bersifat suka rela.

Tidak terbatas hanya dalam menyetor simpanan saja, semua anggota diharapkan aktif bertransaksi di koperasi, sehingga keuntungan koperasi akan bertambah. Toh keuntungan itu akan kembali lagi kepada anggota yang dibagikan setelah disepakati pada forum Rapat Anggota Tahunan (RAT). Keuntungan yang dibagikan tersebut, diistilahkan sebagai sisa hasil usaha (SHU).

Jika koperasi tersebut menjual barang-barang kebutuhan pokok, ya anggotanya harus aktif berbelanja di koperasi itu. Jika koperasi itu berupa koperasi produksi, misalnya koperasi pengrajin batik, maka anggotanya membeli bahan baku atau alat-alat lainnya melalui koperasi. Jika berupa koperasi pertanian, anggotanya membeli pupuk di koperasi tempat mereka jadi anggota.

Sayangnya, koperasi yang bergerak di sektor produksi seperti koperasi yang beranggotakan para petani, nelayan, atau pengrajin, relatif tidak terlalu berkembang. Justru yang banyak berkembang adalah koperasi simpan pinjam, di mana para anggotanya boleh meminjam di koperasi dengan dikenakan bunga yang biasanya sedikit lebih besar ketimbang bunga bank.

Baik, bila koperasi simpan pinjam ternyata bisa berkembang lebih cepat, tentu patut disyukuri, meskipun lebih mendorong sifat konsumtif, bukan produktif. Namun yang perlu direnungkan dalam menyambut peringatan Hari Koperasi, betapa sebetulnya semakin banyak koperasi yang kehilangan "roh". Maksudnya yang diandalkan bukan lagi nilai gotong royong dari para anggotanya, tapi pemupukan modal sebagaimana perusahaan biasa.

Sebagai contoh, lihatlah koperasi karyawan yang sukses, yang bukan lagi bergerak sekadar menjadi koperasi simpan pinjam atau menjual alat tulis kantor dan kebutuhan harian anggotanya. Sekarang koperasi karyawan, terutama seperti yang terlihat di beberapa BUMN papan atas, sudah menjadi "kendaraan" untuk mendapatkan berbagai proyek dari BUMN tempat anggota koperasi tersebut bekerja.

Jadi ada unsur captive market di balik perkembangan pesat koperasi karyawan yang berbisnis proyek besar itu, yang belum tentu didapatkannya secara fair. Sumber dana koperasi yang terbesar bukan dari simpanan anggota, tapi dari utang ke bank. 

Bayangkan kalau koperasi karyawan yang beranggotakan karyawan dari sebuah bank BUMN, jangan heran melihat perkembangannya yang fantastis. Betapa tidak, koperasi tersebut gampang meminjam ke banknya sendiri, yang sumber pengembaliannya berasal dari keuntungan sehabis mengerjakan order dari banknya sendiri.

Maka pengadaan mobil dinas untuk pejabat bank itupun, ada yang diurus oleh koperasi, tentu dengan harga yang lebih tinggi ketimbang membeli langsung ke dealer mobil. Soalnya, jalur pembeliannya menjadi lebih panjang, yakni dari dealer ke koperasi karyawan, baru kemudian dari koperasi ke banknya sebagai pihak pembeli. 

Kontrak pengadaan barang lain pun, ada pula yang seperti itu. Memang penunjukan koperasi itu berdasarkan tender, tentu ada pesaing lain yang ikut agar tender bisa dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Namun pihak vendor yang cerdik akan masuk melalui jalur koperasi karyawan. Akhirnya koperasi menang tender, namun sebetulnya tetap saja yang jadi pemasok pengadaan adalah perusahaan yang telah meminjam "baju" koperasi.

Selain berutang ke banknya sendiri, koperasi karyawan di atas juga menjaring dana dengan menerima deposito dari para anggotanya. Bedakan deposito anggota dengan simpanan anggota yang bersifat wajib. Jika simpanan mendapat SHU secara tahunan kalau koperasi memperoleh laba, pemegang deposito mendapat imbalan bunga yang tetap setiap bulan yang lebih tinggi ketimbang bunga yang ditawarkan bank, tanpa melihat apakah koperasi lagi untung atau rugi.

Kenapa koperasi berani memberikan bunga yang lebih tinggi ketimbang bank? Karena yakin akan dapat proyek besar. Jadi bila deposito di bank suku bunganya katakanlah 6 persen, maka koperasi berani memberikan 8 persen. Toh koperasi tetap merasa lebih hemat dibandingkan dengan meminjam ke banknya sendiri yang terkena bunga 10 persen.

Jelaslah, kehebatan koperasi di atas tidak lagi karena nilai gotong royong anggotanya, namun hanya berupa penggandaan modal semi kapitalis ala korporasi. Korporasi dan koperasi memang mirip ejaan tulisannya, tapi sangat bertolak belakang filosofi bisnis yang dianutnya. 

Apalagi sekarang di sebagian koperasi ada kecenderungan bahwa yang menentukan strategi bisnis bukan lagi para pengurus yang dipilih dari anggota, tapi seorang manajer profesional yang dibayar mahal yang bertindak seperti chief executive officer (CEO) di korporasi. Betul-betul kekuasaan anggota seperti dipreteli.

Maka integritas manajer profesional yang dikontrak koperasi menjadi faktor penting. Bukannya menakut-nakuti, ada sejumlah koperasi yang terlibat kasus investasi bodong. Cikal bakalnya mungkin mirip dengan koperasi yang menjaring deposito di atas. Tapi dalam kasus investasi bodong, tingkat imbalan yang ditawarkan lebih tinggi lagi. Bagi mereka yang bersikap kritis, imbalan tersebut dinilainya sudah tidak logis.

Itulah contoh koperasi yang sudah meninggalkan nilai gotong royong. Ada yang berkembang pesat, tapi gaya bisnisnya relatif sama dengan korporasi. Ada pula yang menjebak masyarakat untuk memasukkan dananya dengan menjanjikan imbalan yang menggiurkan, tapi  ya itu tadi, bodong.

Betapa rindunya melihat koperasi yang kembali ke hakikatnya dengan kekuatan "dari anggota untuk anggota", dan itu akan terwujud dengan mempraktikkan nilai-nilai gotong royong.

Semoga kisah sukses di masa lalu yang pernah hinggap ke koperasi produksi seperti koperasi susu, koperasi batik, dan koperasi tahu tempe (sekadar menyebut beberapa contoh), bisa kembali bersinar. Bahkan dengan prestasi yang lebih hebat ketimbang yang pernah dicapai sebelumnya. 

Harus pula diakui bahwa sebagian peninggalan Orde Baru di bidang perkoperasian, ada yang baik dan sangat layak untuk diteruskan. Contohnya adalah Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada di setiap desa, banyak yang berkembang dengan baik, dan turut berkontribusi bagi terciptanya swasembada pangan ketika itu.

Semua itu bisa dicapai lagi, bahkan dilampaui, selain karena dibina dan diberi fasilitas oleh pemerintah, yang terpenting adalah dengan menggerakkan nilai gotong royong semua anggotanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun