Bahkan dua orang pendiri Kompas berbeda pendapat soal sikap moderat yang mengandung unsur kompromi itu. Ceritanya, seperti ditulis St Sularto (Kompas, 27/6/2020), Kompas dibredel (dilarang terbit oleh pemerintah) sejak 21 Januari hingga 5 Februari 1978. Jakob Oetama memilih bersedia menandatangani syarat agar boleh terbit kembali.
Menurut Jakob Oetama, mayat hanya bisa dikenang, tidak mungkin bisa diajak berjuang, dengan keyakinan "keadaan pasti berubah". Dan memang betul, 20 tahun setelah itu rezim Soeharto pun tumbang.
Namun PK Ojong  yang lebih senior  dalam hal jurnalisme, karena medianya sebelum Kompas, Keng Po dan Star Weekly, pernah dibredel, tidak sependapat dengan Jakob Oetama. Katanya, "Jakob, jangan minta maaf, mati hari ini, nanti atau tahun depan sama saja."
Sejarah emas akhirnya ditorehkan Kompas, hari ini sudah berusia 55 tahun. Justru karena sikap moderat itulah yang membuat Kompas selamat. Kalau dulu Jakob Oetama tidak pintar-pintar meniti buih, tentu Kompas sudah jadi almarhum.Â
Dan karena peristiwa dibredel itu terjadi tahun 1978, jika akhirnya Kompas tamat riwayatnya ketika itu, bagi saya pribadi mungkin juga membelokkan sejarah hidup saya. Boleh jadi saya tidak akan pernah memegang KTP DKI Jakarta.Â
Selamat Ulang Tahun, Kompas. Tetaplah menyuarakan amanat hati nurani rakyat, sampai kapanpun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H