Langkah pemerintah menempatkan dana di bank BUMN dinilai tidak urgen. Demikian yang terbaca di harian Kompas (26/6/2020). Empat bank BUMN yang dimaksud adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Tabungan Negara (BTN). Tak tanggung-tanggung, jumlah dana yang akan digelontorkan pemerintah berjumlah Rp 30 triliun.
Disebut tidak urgen karena saat ini perbankan lebih banyak menghadapi risiko kredit dibandingkan risiko likuiditas. Mengucurkan dana tujuannya adalah untuk memperkuat sisi likuiditas bank, sehingga bank punya dana untuk dikucurkan lagi sebagai pemberian kredit kepada dunia usaha, terutama usaha mikro dan kecil, agar roda perekonomian kembali berputar lebih cepat.
Masalahnya, di tengah menurunnya produksi dan melemahnya daya beli masyarakat, pengajuan kredit pada masa pandemi cenderung terbatas. Bank lebih banyak disibukkan dengan menganalisis para debiturnya (penerima kredit yang telah eksis saat ini) yang layak diberikan relaksasi berupa penundaan pengembalian kredit.
Sebelumnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang telah mengeluarkan kebijakan bahwa debitur perbankan diperkenankan mengajukan permohonan relaksasi berupa penundaan pembayaran cicilan kredit selama 6 hingga 12 bulan.
Tentu saja yang menjadi dasar pemikiran pemerintah, karena bank banyak memberikan keringanan yang disebut dengan relaksasi itu tadi kepada debiturnya, maka aliran dana masuk ke bank bersangkutan akan tersendat. Makanya pemerintah  membantu dengan menempatkan sejumlah dana yang disinggung di atas.
Hanya saja, seperti diketahui, ke empat bank BUMN tersebut punya semacam spesialisasi masing-masing dalam pemberian kredit. Bank Mandiri dan BNI agak mirip, lebih banyak memberikan kredit kepada korporasi atau perusahaan besar. BRI sangat dominan dalam pemberian kredit mikro dan kecil, serta BTN untuk kredit perumahan.
Nah, dalam memberikan kredit banyak hal yang harus diteliti bank, agar diyakini kredit tersebut tidak akan menjadi kredit yang macet pengembaliannya, agar tidak merugikan bank. Jadi kalau pemerintah memberikan syarat bahwa dana yang ditempatkannya harus segera diteruskan kepada para pelaku usaha, tidak bisa seketika dalam waktu satu atau dua bulan.
Di lain pihak bila dana tersebut dibiarkan menganggur begitu saja, akan membebani bank, yang lazim disebut dengan idle money. Apalagi status penempatan dana pemerintah tersebut berstatus sebagai pinjaman, meskipun bank hanya dibebani bunga yang sangat rendah.
Jika dibaca dari pernyataan pemerintah yang banyak diberitakan media massa, pemerintah melarang dana yang diterima oleh bank BUMN tersebut untuk digunakan selain untuk pemberian kredit. Untuk itu pemerintah akan mengontrol penggunaan dana tersebut secara ketat.
Namun sudah menjadi hal yang biasa, dan bahkan memang harus begitu bila dilihat dari sisi pengelolaan bank yang baik, setiap idle money, sementara belum terserap untuk pemberian kredit, akan dibelikan pada surat berharga.
Ironisnya, surat berharga yang lebih aman dan disukai pihak bank, terutama bank BUMN, adalah Surat Berharga Negara (SBN). Nah, kalau ini lolos dari pemantauan pemerintah, maka penempatan dana Rp 30 triliun tersebut di atas akan menjadi bumerang bagi pemerintah.