Saya merasa beruntung kebetulan sempat menonton film Istirahatlah Kata-kata melalui layar kaca. Kenapa saya sebut beruntung? Karena film ini ditayangkan oleh TVRI, padahal saya jarang mengikuti siaran stasiun televisi yang tertua di tanah air ini.
Maka pada Selasa (16/6/2020) malam, saya dengan antusias menyimak film tersebut, seakan melampiaskan kekecewaan saya karena saat diputar di bioskop, saya tak sempat menonton.
Ketika itu, sekitar pertengahan Januari 2017, Istirahatlah Kata-kata ditayangkan di jaringan bioskop terbesar di Indonesia. Tapi mungkin karena dinilai kurang komersial, pihak bioskop hanya menyediakan sedikit layar, itupun selama beberapa hari saja.
Bisa jadi karena gagal menjaring penonton sejumlah minimal yang dipersyaratkan manajemen bioskop, maka nasibnya mirip dengan film-film nasional bertema idealis lainnya, yakni jeblok di pasaran. Jadi ketika saya ingin menonton, ternyata sudah tidak diputar lagi.
Film yang disutradarai oleh Yosep Anggi Noen ini berkisah tentang kehidupan seorang Wiji Thukul, khususnya dalam masa pelariannya ke Pontianak tahun 1996.
Siapa Wiji Thukul dan kenapa harus lari, tentu sudah banyak yang tahu. Ia adalah seorang penyair sekaligus aktivis kelahiran Solo, Jawa Tengah yang gencar melawan penindasan rezim Orde Baru yang akhirnya hilang tanpa diketahui keberadaannya, hingga kini tetap misterius.
Thukul yang anak seorang penarik becak itu mulai menulis puisi sejak duduk di bangku SD, kemudian saat di SMP tertarik pada dunia teater. Bersama kelompok Teater Jagat, ia ngamen membacakan puisi keluar masuk kampung dan kota.
Bukan puisi cinta remaja yang disuarakannya, tapi berupa protes terhadap penindasan yang dilakukan penguasa ketika itu. Menyuarakan aspirasi kaum buruh dan mereka yang terlindas derap pembangunan, dan menggaungkan tuntutan untuk terciptanya kondisi yang lebih demokratis.
Tapi sepanjang film berdurasi sekitar 90 menit itu, tidak tergambar kegarangan atau kegeraman seorang Wiji Thukul. Tadinya saya berharap meskipun bercerita tentang pelariannya, namun akan diselingi adegan kilas balik penyair jalanan itu sebagai seorang aktivis sosial.
Gambar di layar sering menampilkan warna gelap, membuat film ini dari awal terkesan mencekam. Alur cerita dan dialog berlangsung lamban, mungkin karena dalam konteks persembunyian seorang buronan. Bagi saya, awalnya agak sulit untuk memahami dan baru bisa menikamti setelah sambil browsing membaca kisah hidup Thukul.
Istirahat Kata-kata itu sendiri juga merupakan judul dari puisi karya Wiji Tukul yang dibacakan di bagian awal film. Sepanjang film, masih banyak puisi lain yang dilantunkan. Berikut ini puisi utama di film ini: "Istirahatlah kata-kata/jangan menyembur-nyembur/orang-orang bisu/tidurlah kata-kata/kita bangkit nanti/menghimpun tuntutan-tuntutan/yang miskin papa dan dihancurkan".