Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Krisis 1998 Membangkrutkan Konglomerat, Sekarang Mendera Semua Lapisan Masyarakat

26 Juni 2020   07:10 Diperbarui: 26 Juni 2020   07:40 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin kurang pas jika krisis ekonomi saat ini, yang merupakan dampak dari pandemi Covid-19, dibandingkan dengan krisis moneter yang melanda negara kita tahun 1998 dulu.  Tapi menarik juga menyimak pendapat Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja terkait hal ini, seperti yang dimuat bisnis.com (10/6/2020).

Kurang lebih (dengan gaya bahasa versi bebas) Jahja mengatakan bahwa saat krisis moneter banyak konglomerat yang bangkrut. Namun pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) justru sebagian besar tetap selamat. Tapi sekarang ini dampak Covid-19 melanda semua golongan masyarakat, dari kelas atas sampai bawah, karena kegiatan ekonomi sangat dibatasi.

Pernyataan Jahja tersebut bisa dipahami karena lebih menggunakan indikator nilai tukar rupiah yang terdepresiasi hingga ratusan persen terhadap mata uang asing ketika terjadi krisis moneter 1998. Inilah yang akhirnya membuat tingkat inflasi naik gila-gilaan, suku bunga bank  melonjak tajam dan daya beli masyarakat menurun drastis.

Lalu kenapa konglomerat yang jadi melarat? Karena konglomerat punya utang  yang besar dalam valuta asing. Padahal nilai rupiah meluncur dari kisaran sekitar Rp 2.5000 per 1 dolar AS menjadi Rp 16.000-an. Jadi bila punya utang sejuta dolar AS, tadinya cukup menyediakan uang Rp 2,5 miliar buat melunasinya, saat krisis menjadi harus membayar Rp 16 miliar. 

Akhirnya para konglomerat terkapar. Asetnya banyak yang disita oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang mengambil alih operasional banyak bank. Soalnya hampir semua bank juga terpuruk dihantam kredit macet dan harus disuntikkan bantuan likuiditas dari Bank Indonesia, sehingga banknya mau tak mau diserahkan ke BPPN. 

Tapi ceritanya berbeda dengan para pelaku usaha mikro dan kecil. Ketika itu wong cilik ini selamat, justru karena dianggap tidak layak mendapatkan pinjaman dalam valuta asing. Sebagian pengusaha kecil memang sudah memperoleh kredit dari bank, tapi dalam mata uang rupiah dan itupun jumahnya relatif kecil sesuai kapasitas usahanya.

Memang kalau di lihat dari sisi terjadinya penurunan nilai rupiah yang luar biasa, tentu mengakibatkan melonjak tajamnya harga barang, terutama barang impor. Namun barang impor ini merupakan ladang bisnis pengusaha kelas menegah ke atas. Adapun pedagang kecil, seperti pedagang makanan di pinggir jalan, pedagang sayuran dan buah-buahan lokal, tidak terdampak signifikan.

Namun kalau Presdir BCA menyatakan hanya konglomerat yang paling menderita, mungkin karena dilihat dari sisi jumlah utangnya. Tapi bukankah masyarakat bawah tak kalah menderitanya, karena waktu itu banyak juga karyawan perusahaan swasta yang di-PHK, atau buruh yang kehilangan pekerjaan karena pabrik tutup. Jadi, yang namanya krisis tetap saja tidak enak. 

Nah, bagaimana dengan kondisi sekarang? Apakah betul semua lapisan masyarakat sama-sama menderita? Sebetulnya bagi konglomerat yang punya utang dalam valuta asing, kondisi sekarang belum seterpuruk saat krisis moneter. Soalnya nilai rupiah meskipun sempat terdepresiasi dari Rp 14.000-an ke Rp 16.000-an, sekarang sudah kembali ke Rp 14.000-an lagi.

Satu lagi yang juga sangat menentukan kenapa konglomerat atau kelompok lapisan menengah ke atas tidak begitu cemas pada saat ini adalah berkaitan dengan faktor politik. Sekarang relatif lebih kondusif dan pemerintah bisa mengendalikan situasi. Banyak hujatan, tapi terbatas di media sosial.

Padahal saat krisis 1998 seperti diketahui menyebabkan terjadinya pergantian rezim yang diawali serangkaian demonstrasi mahasiswa di berbagai penjuru tanah air. Namun demo itu akhirnya disusupi aksi massa yang tak terkendali dan menjarah berbagai pasar swalayan, mal, toko, dan rumah-rumah yang diduga milik etnis tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun