Kebetulan saat saya lagi menyimak berita dari salah satu stasiun televisi, saya tertarik dengan liputan tentang kegiatan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang bertemu dengan beberapa anak muda yang berprofesi sebagai petani. Para pemuda itu memakai baju seragam berwarna merah, yang di bagian punggungnya tercantum tulisan "Petani, Pemuda Tampan Masa Kini".
Terlihat sekali kalau Ganjar sangat bangga dan memberi semangat kepada anak muda tersebut. Mereka bukan petani seperti yang banyak dikenal orang. Oke, tentang tampan, itu relatif. Tapi saya sependapat, mereka memang tampan, paling tidak profesinya sebagai petani membuat mereka jadi tampan.
Jangan bayangkan mereka berkubang lumpur bermandi keringat seperti petani zaman jadul. Mereka adalah pertani era milenial yang gagah-gagah. Tak heran bila sang gubernur rela gowes sejauh 53 km dari Semarang untuk menemui kelompok petani muda itu tadi, yang ternyata tergabung dalam Kelompok Tani Milenial Citra Muda di Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang.
Hebatnya, kelompok tersebut bukannya meyerah dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19 sekarang ini. Justru dengan bekal promosi di media sosial dan juga bertransaksi secara online, omzet penjualan mereka naik hingga 300 persen jika dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Lalu apa produk yang mereka hasilkan? Ada 70 jenis sayuran organik yang dipasarkan mereka tidak saja di sekitar Semarang, tapi tersebar di seluruh tanah air. Tahu sendirilah, betapa sekarang banyak orang, terutama warga perkotaan kelas menengah ke atas, yang sangat peduli dengan dampak kesehatan dari apa yang dimakannya.
Dalam hal ini sayur organik menyediakan apa yang menajdi kebutuhan golongan masyarakat tersebut, karena dalam proses penanaman, perawatan, dan pemanenannya, tidak menggunakan bahan kimia apapun. Tanaman ini sekalius juga ramah lingkungan.
Maka jelaslah, bila Ganjar Pranowo sangat bangga dengan para petani tampan di atas, tentu bukan sekadar basa basi. Maksudnya gampang diduga, agar kebanggaan menjai petani akan menular ke banyak anak muda. Terutama anak muda yang tinggal di desa yang lebih memilih menganggur ketimbang menjadi petani. Atau yang nekad merantau ke kota tanpa kejelasan pekerjaan, sehingga regenerasi petani jadi terputus.
Ironis rasanya, katanya kita negara agraris, tapi saat ini profesi petani bukan merupakan pilihan bagi anak muda. Bahkan sekadar dilirik pun tidak, termasuk oleh anak muda yang orang tuanya petani, namun telah mengenyam bangku kuliah dengan uang hasil panen orang tuanya.
Penilaian umum masih menempatkan petani sebagai profesi yang tidak menjanjikan masa depan, tidak meyakinkan unuk diambil jadi menantu, dan juga dinilai tidak klop dengan mereka yang sudah mendapat titel sarjana. Ironisnya, sarjana pertanian pun ogah bertani.Â
Sangat banyak sarjana pertanian (mencakup pula sarjana peternakan, sarjana perikanan, dan sarjana kehutanan) yang bekerja di bank, pasar modal, jurnalis, motivator, atau profesi lainnya yang tidak begitu besinggungan langsung dengan ilmu yang dipelajarinya.
Hal itu tidak terlepas dari citra petani masa lalu sebagi orang ndeso, kurang terdidik, tidak kreatif, dan penghasilannya yang pas-pasan. Tentu ada segelintir petani yang kaya, tapi sebetulnya yang segelintir ini bukan petani murni, melainkan semacam investor yang mempunyai lahan pertanian yang luas. Adapun yang bekerja ya buruh tani, baik dengan pola upah harian atau bagi hasil.