Meskipun sudah lengser dari kursi perdana menteri (PM) di negeri jiran Malaysia, suara Mahathir Mohamad yang sudah berusia 94 tahun, masih lantang. Belum lama ini, Mahathir memperingatkan negara lain, khususnya sesama negara-negara di Asia Tenggara, agar tidak terjebak berutang kepada negara China.
Seperti yang dilansir dari tribunnews.com (8/6/2020), Mahathir yang mundur sebagai PM Malaysia pada Februari 2020 lalu, pernah memberikan peringatan keras  bagi negara manapun yang berutang ke China. Kata Mahathir, utang dari China adalah jebakan, karena bila negara tersebut tak bisa melunasinya, akan berada di bawah kontrol China.
Memang ketika Mahathir melontarkan peringatan itu, Filipina diberitakan sejumlah media massa sedang mendapat kucuran dana dari investor asal China. Tapi, di luar Asia Tenggara, banyak negara  yang mendapat gelontoran dana seperti itu. Terlalu banyak jika ditulis satu persatu, baik di Asia, Afrika, maupun Oseania.
Sewaktu Malaysia di bawah kepemimpinan Najib Razak, banyak mengambil pinjaman dari negara tirai bambu itu, tapi tidak mampu melunasi, bahkan Najib tersangkut kasus korupsi. Kemudian saat Mahathir tampil menggantikan Najib, Mahathir melakukan strategi gali lubang tutup lubang dengan berutang ke Jepang untuk melunasi utang ke China.
China ditengarai mempunyai strategi khusus di balik memberikan pinjaman besar-besaran ke sejumlah negara itu. Bila negara pengutang tidak mampu melunasi, China akan membangun pangkalan militer di sana.Â
Tidak hanya itu, bahkan China meminta konsesi tertentu seperti yang dialami Sri Lanka pada 2017 yang menyerahkan pengelolaan pelabuhannya ke perusahaan-perusahaan yang dimiliki pemerintah China dengan sewa selama 99 tahun.
Nah, bagaimana dengan pengalaman Indonesia? Sebelum kita lihat referensi yang berkaitan dengan jumlah utang Indonesia ke China serta prediksi apakah Indonesia mampu mengembalikannya sehingga tidak terjebak, harus diakui masalah ini tergolong sensitif.
Disebut sensitif karena sangat gampang digoreng atau dipelintir. Bahkan sangat sering topik tentang makin banyaknya modal China masuk ke Indonesia, yang disertai dengan rombongan tenaga kerja asing (TKA) dari China, menyebar dengan cepat di berbagai grup percakapan di media sosial.
Banyak tulisan di media sosial tersebut yang berkaitan dengan TKA China yang perlu diverifikasi karena beraroma hoax. Ada yang meyebarkan karena ketidaktahuan, tapi tak sedikit karena kesengajaan dengan motif politik. Boleh jadi juga bermotif SARA bila dikaitkan dengan ketidaksukaan kelompok tertentu kepada saudara kita WNI yang berdarah Cina.
Seperti diketahui, ketimpangan ekonomi di negara kita masih terbilang lebar, dan segelintir warga yang masuk kelompok super kaya, kebetulan didominasi oleh keturunan Cina. Terlepas dari kedekatan para pengusaha keturunan tersebut yang menjalin hubungan baik dengan pejabat pemerintah, harus diakui saudara kita itu punya karakter yang gigih dalam berbisnis.
Sekarang coba kita lihat berapa jumlah utang Indonesia dari China. Data yang lumayan baru, bisa dilacak seperti yang ditulis wartaekonomi.co.id (4/3/2020). Disebutkan bahwa ternyata bukan China yang menjadi negara pemberi utang terbesar kepada Indonesia.
Situs berita daring tersebut menulis berdasarkan publikasi statistik utang luar negeri Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia per Desember 2019. Ketika itu utang Indonesia tercatat sebesar US$ 404,8 miliar atau setara sekitar Rp 5.600 triliun dengan kurs Rp 14.000 per US$ 1.
Dari jumlah tersebut, sekitar 50,18 persen merupakan utang pemerintah dan bank sentral. Porsi terbesar dari utang pemerintah (71,69 persen) didapatkan dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), baik yang dijual di level domestik maupun internasional.
Sumber utang luar negeri pemerintah berikutnya adalah dari lembaga keuangan dunia, World Bank, yang mencakup 15 persen dari utang pemerintah. Sisanya atau 13,31 persen, baru merupakan utang dari negara-negara kreditur. Itupun bukan China yang terbesar.
Adalah Jepang sebagai negara kreditur yang paling utama yang memberi pinjaman sebesar US$ 12,08 miliar. Berikutnya adalah Jerman (US$ 2,7 miliar), Perancis (US$ 2,4 miliar), baru kemudian China sebesar US$1,7 miliar.
Dari data di atas, boleh ditafsirkan bahwa jumlah utang Indonesia ke China relatif tidak terlalu besar, hanya sekitar 14 persen dari jumlah utang Indonesia ke Jepang. Tapi sebagai isu politik, utang ke China lebih sering menjadi sasaran kritik dari para politisi yang bukan berasal dari partai pendukung pemerintah.
Pernyataan Mahathir mungkin tidak ditujukan buat Indonesia. Tapi perlu sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan, baik pemerintah maupun parlemen, dalam merancang pembangunan masa mendatang.
Di atas telah disinggung bahwa Mahathir akhirnya memilih berutang ke Jepang untuk melunasi utang Malaysia ke China, yang disebutnya sebagai gali lubang tutup lubang. Indonesia justru dari awal memang memilih Jepang sebagai tempat berutang yang lebih dominan ketimbang China.Â
Jadi kalau Indonesia tidak merasa tersindir atas pernytaan Mahathir di atas, wajar kiranya. Siapa tahu, jangan-jangan Mahathir memilih Jepang, karena meniru dari Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H