Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Komut BCA Lepas 800.000 Saham BBCA, Prospek BCA Diragukan?

8 Juni 2020   07:00 Diperbarui: 8 Juni 2020   07:09 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komut BCA, DE Setijoso | sumber: Laporan Tahunan 2010 Bank BCA via docplayer.info/user/80554763

Ada berita menarik dari perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dilansir dari cnbcindonesia.com (6/6/2020), Komisaris Utama (Komut) Bank Central Asia (BCA), bank swasta paling kinclong di Indonesia, telah menjual 800.000 lembar saham BBCA (kode saham BCA yang diperdagangkan di BEI), yang merupakan milik pribadi sang komut.

Adapun nilai penjualan tersebut disebutkan sekitar Rp 23,12 miliar, karena Djohan Emir Setijoso, begitu nama sang komut, melepasnya pada harga Rp 28.900 per lembar. Harga yang relatif baik, mengingat beberapa hari sebelumnya BBCA sempat tertekan karena aksi jual investor asing. Bahkan, pada akhir Maret lalu BBCA terpuruk pada rekor terendahnya di kisaran Rp 22.000-an per lembar

Namun jelas harga Rp 28.900 masih jauh dari rekor tertinggi yang pernah diraih BBCA sejak awal tahun ini. Ya memang selama Januari 2020, ketika pandemi Covid-19 sudah menggoyahkan China, dampaknya ke tanah air belum terasa, bahkan BBCA cukup stabil di kisaran Rp 34.000-an per lembar.

Kenapa Setijoso sampai menjual sahamnya, tentu yang paling tahu beliau sendiri. Tapi kalau karena sedang butuh uang, kayaknya sih tidak, karena pundi-pundinya belasan tahun jadi Dirut BCA dan kemudian berlanjut jadi Komut, tentu sudah demikian banyak.

Penghasilan sang komut yang sangat besar berasal dari tantiem (bagian dari laba tahunan yang dibagikan buat direksi dan komisaris). Padahal gaji bulanannya sendiri sudah yang tertinggi dibanding yang didapat dirut atau komut bank-bank nasional lain.

Sekadar catatan saja, Setijoso tercatat memiliki saham BBCA sebanyak 22.200.121 lembar dan setelah penjualan di atas beliau masih memiliki sebanyak 21.400.121 lembar atau senilai Rp 618,46 miliar bila harganya sama dengan harga saat penjualan tersebut.

Kenapa kepemilikan dan transaksi saham secara pribadi dari seseorang yang berstatus sebagai pengurus (direksi dan komisaris) suatu perusahaan yang telah go public harus dipublikasikan? Karena untuk menghindari insider trading.

Sebagai pengurus, mereka dianggap sebagai pihak yang terkait, dalam arti punya akses informasi yang lebih lengkap dan lebih cepat, sehingga tahu persis "isi perut" perusahaan yang dipimpinnya. Adapun masyarakat umum yang memiliki BBCA atau berniat membeli BBCA, hanya mengandalkan informasi yang telah diolah oleh pengurus BCA.

Maksudnya, bila si pengurus telah mengendus perusahaannya dalam kondisi kritis, sedangkan harga sahamnya masih bagus, maka bukan tak mungkin mereka tergiur menjual saham milik pribadinya buru-buru. Bila terlambat menjual, bisa-bisa harganya anjlok.

Sebaliknya, bila si pengurus merasa harga saham lagi murah, padahal ia punya keyakinan strategi yang akan diterapkannya mampu mengangkat kinerja perusahaan yang dipimpinnya, maka ia akan membeli saham tersebut. 

Nah, sesuai dengan prinsip keterbukaan informasi (full disclosure), BEI akan mengumumkan bila pengurus perusahaan membeli atau menjual saham dari perusahaan yang dipimpinnya. Sedangkan bagi investor lain, silakan mencermati, mau mengikuti jejak si pengurus, atau tidak. Dalam kasus BBCA di atas, silakan publik menganalisis sendiri.

Jadi rasanya tak perlu kita ulas apa maksud  Setijoso melakukan penjualan saham BBCA. Tapi apa dampaknya bagi investor individual yang bermain saham dalam partai kecil, maksudnya membeli atau menjual dalam beberapa lota saja, pantas dicermati.

Bila melihat bahwa Setijoso hanya menjual sedikit saja BBCA yang dimilikinya dan masih menahan dalam jumlah yang jauh lebih besar, dapat ditafsirkan bahwa Setijoso masih cukup yakin dengan prospek BCA di masa datang. Meskipun harus diakui, kondisi saat ini yang digempur oleh dampak pandemi Covid-19, sangat tidak kondusif bagi dunia usaha, termasuk perbankan.

Bukankah dari dana yang dihimpun bank dari para penabung, dikucurkannya berupa kredit kepada perusahaan atau individu yang membutuhkan? Lalu karena perusahaan penerima kredit lagi seret bisnisnya, pada gilirannya akan membuat pengembaliannya kepada bank akan macet. Inilah sumber kerugian bank saat ini.

Tapi untuk BCA, bank ini tampaknya telah belajar dari kesalahannya saat krisis moneter 1998 dulu. Ketika itu BCA masih di bawah bendera Grup Salim. Maka tak heran publik membacanya sebagai bagian dari kroni Pak Harto yang ditumbangkan para mahasiswa yang melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi.

Ketika itulah di semua kantor BCA, terjadi antrean panjang karena para penabung ingin mengambil uangnya, takut kalau BCA bangkrut. Apalagi waktu itu belum ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) seperti sekarang. BCA yang megalami kesulitan likuiditas yang parah, akhirnya dibantu pemerintah, sekaligus eksistensinya diambil alih oleh pemerintah.

Maka Setijoso yang waktu itu masih direktur di bank pelat merah, Bank Rakyat Indonesia (di bank ini Setijoso merintis karir dari bawah sejak lulus IPB Bogor tahun 1964) ditunjuk pemerintah memimpin BCA. Tangan dingin Setijoso berbuah manis, BCA tak butuh waktu lama untuk kembali berkibar sebagai bank yang maju teknologinya dan cepat pelayanannya.

Rupanya pemilik baru BCA pun setelah dilepas pemerintah, grup Djarum, kepincut dengan Setijoso. Biasanya pemilik baru akan membawa gerbong manajemen sendiri, tapi tidak bagi Djarum. Setijoso tetap dipertahankan di kursinya. Bahkan setelah Setijoso menolak untuk terus menerus menjadi dirut, ketika usianya telah memasuki 70-tahun, ditunjuk menjadi komut.

Dapat disimpulkan, di tangan Setijoso, BCA tampil lebih profesional. Kalau dulu dianggap bagian dari kroni Pak Harto, sekarang terkesan netral, sehingga partai mana pun yang berkuasa, bisnis BCA tetap terjaga. 

Kalau dulu BCA banyak menggelontorkan kredit ke Grup Salim, sekarang Grup Djarum tidak melakukan kesalahan yang sama. Bisnis rokok bisa saja dianggap sudah kurang prospektif karena berbagai hambatan berkaitan dengan dampak rokok pada kesehatan. Tapi BCA menjadi cashcow atau lumbung bagi Grup Djarum.

Tapi tentu saja BCA tetap punya tantangan, antara lain dengan munculnya para pesaing dari dunia maya berupa perusahaan teknologi finansial, yang menawarkan pelayanan yang jauh lebih cepat bagi para nasabahnya.

Bagi anda yang memegang BBCA silakan berhitung sendiri, mau melepas saham, menahan, atau justru membeli lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun