Jadi rasanya tak perlu kita ulas apa maksud  Setijoso melakukan penjualan saham BBCA. Tapi apa dampaknya bagi investor individual yang bermain saham dalam partai kecil, maksudnya membeli atau menjual dalam beberapa lota saja, pantas dicermati.
Bila melihat bahwa Setijoso hanya menjual sedikit saja BBCA yang dimilikinya dan masih menahan dalam jumlah yang jauh lebih besar, dapat ditafsirkan bahwa Setijoso masih cukup yakin dengan prospek BCA di masa datang. Meskipun harus diakui, kondisi saat ini yang digempur oleh dampak pandemi Covid-19, sangat tidak kondusif bagi dunia usaha, termasuk perbankan.
Bukankah dari dana yang dihimpun bank dari para penabung, dikucurkannya berupa kredit kepada perusahaan atau individu yang membutuhkan? Lalu karena perusahaan penerima kredit lagi seret bisnisnya, pada gilirannya akan membuat pengembaliannya kepada bank akan macet. Inilah sumber kerugian bank saat ini.
Tapi untuk BCA, bank ini tampaknya telah belajar dari kesalahannya saat krisis moneter 1998 dulu. Ketika itu BCA masih di bawah bendera Grup Salim. Maka tak heran publik membacanya sebagai bagian dari kroni Pak Harto yang ditumbangkan para mahasiswa yang melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi.
Ketika itulah di semua kantor BCA, terjadi antrean panjang karena para penabung ingin mengambil uangnya, takut kalau BCA bangkrut. Apalagi waktu itu belum ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) seperti sekarang. BCA yang megalami kesulitan likuiditas yang parah, akhirnya dibantu pemerintah, sekaligus eksistensinya diambil alih oleh pemerintah.
Maka Setijoso yang waktu itu masih direktur di bank pelat merah, Bank Rakyat Indonesia (di bank ini Setijoso merintis karir dari bawah sejak lulus IPB Bogor tahun 1964) ditunjuk pemerintah memimpin BCA. Tangan dingin Setijoso berbuah manis, BCA tak butuh waktu lama untuk kembali berkibar sebagai bank yang maju teknologinya dan cepat pelayanannya.
Rupanya pemilik baru BCA pun setelah dilepas pemerintah, grup Djarum, kepincut dengan Setijoso. Biasanya pemilik baru akan membawa gerbong manajemen sendiri, tapi tidak bagi Djarum. Setijoso tetap dipertahankan di kursinya. Bahkan setelah Setijoso menolak untuk terus menerus menjadi dirut, ketika usianya telah memasuki 70-tahun, ditunjuk menjadi komut.
Dapat disimpulkan, di tangan Setijoso, BCA tampil lebih profesional. Kalau dulu dianggap bagian dari kroni Pak Harto, sekarang terkesan netral, sehingga partai mana pun yang berkuasa, bisnis BCA tetap terjaga.Â
Kalau dulu BCA banyak menggelontorkan kredit ke Grup Salim, sekarang Grup Djarum tidak melakukan kesalahan yang sama. Bisnis rokok bisa saja dianggap sudah kurang prospektif karena berbagai hambatan berkaitan dengan dampak rokok pada kesehatan. Tapi BCA menjadi cashcow atau lumbung bagi Grup Djarum.
Tapi tentu saja BCA tetap punya tantangan, antara lain dengan munculnya para pesaing dari dunia maya berupa perusahaan teknologi finansial, yang menawarkan pelayanan yang jauh lebih cepat bagi para nasabahnya.
Bagi anda yang memegang BBCA silakan berhitung sendiri, mau melepas saham, menahan, atau justru membeli lagi.