Kembali ke BPKH, jika tindakan mengkonversi ke rupiah tersebut semata-mata karena "ditekan" oleh pemerintah, ini yang bisa dianggap keliru. Seharusnya mau dikonversi atau tidak harus berdasarkan pengkajian tim ahli yang dimiliki BPKH sendiri atau konsultan investasinya.
Jika hasil kajian BPKH, USD akan semakin kuat, logikanya lebih baik mempertahankan USD-nya. Bukankah tahun depan, ketika jemaah haji diberangkatkan, akan digunakan juga?
Bayangkan kalau terlanjur dirupiahkan, lalu tahun depan dibelikan lagi ke USD dengan kurs yang lebih mahal, tentu merupakan kerugian buat BPKH. Di sinilah letak pertaruhannya.
Namun bila saat membeli USD di tahun depan, nilainya semakin turun, katakanlah per 1 USD bisa dibeli dengan Rp 13.800 seperti kondisi awal tahun ini, maka BPKH akan menangguk untung.
Jadi tak ada yang salah dengan upaya BPKH mengkonversi USD yang sedianya untuk biaya haji 2020 menjadi simpanan dalam bentuk rupiah di rekening banknya. Terserah apakah ini dibaca sebagai upaya memperkuat rupiah atau tindakan yang biasa-biasa saja, yang sudah seharusnya seperti itu.
Lalu apakah itu sebuah pertaruhan? Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing memang selalu bergerak, itu sudah hukum pasar. Maka, mau tetap ditahan dalam bentuk USD atau dikonversi menjadi rupiah, dua-duanya bisa dianggap pertaruhan, karena sama-sama berpotensi menuai untung atau sebaliknya, mengalami kerugian.
Tapi karena ini "pertaruhan " yang merupakan kondisi sehari-hari yang harus dihadapi oleh para pelaku bisnis, pemerintah, dan bahkan masyarakat biasa, ya ini business as usual.
Yang penting semuanya dilakukan dengan perhitungan yang cermat karena standar pelayanan bagi jemaah haji harus terpenuhi. Kalaupun untuk membeli USD di tahun depan, BPKH mengalami ketekoran, ya itulah risikonya, yang bagi dunia usaha disebut risiko bisnis.
Makanya, BPKH harusnya punya tenaga ahli yang kredibel dalam menganalisis prediksi  pergerakan mata uang asing atau hal-hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan dana haji. Anggito Abimanyu yang nota bene adalah seorang ekonom itu, sebenarnya punya kapasitas untuk itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H