Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Benarkah Generasi Milenial Krisis Loyalitas dalam Bekerja?

29 Mei 2020   08:30 Diperbarui: 31 Mei 2020   18:28 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pa, dalam masa Covid-19 sekarang, masih ada nggak perusahaan yang membuka lowongan kerja?", tanya seorang anak saya, saat kami makan malam, belum lama ini. Gampang saya tebak, anak saya itu, panggil saja namanya Budi, sudah ingin cabut dari perusahaan tempatnya bekerja. 

Budi belum genap berusia 25 tahun. Tak lama setelah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pertengahan 2018 lalu, ia diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan manajemen terkenal, karena berafiliasi dengan konsultan asing papan atas. 

Hanya karena ia terlalu sering pulang larut malam sehingga tak punya waktu lagi untuk bermain musik, hobi yang juga nantinya direncanakan akan jadi profesinya bila telah berhasil mengumpulkan uang, ia tinggalkan setelah bekerja 6 bulan.

Kemudian Budi cukup intens bermain musik bersama teman-temannya yang tergabung dalam sebuah grup band beraliran metal. 

Budi adalah drummer-nya. Tapi dengan bekal beberapa lagu yang diunggah di Youtube, jelas bukan hal gampang meraih sukses, sehingga dompetnya jadi kering. Ia juga gengsi minta uang ke saya, namun diam-diam saya transfer sejumlah uang ke rekening tabungannya.

Lalu, sejak November tahun lalu, Budi melamar lagi ke beberapa perusahaan, dan diterima di sebuah perusahaan sekuritas, yang merupakan perantara dalam jual beli saham atau obligasi yang diperdagangkan di bursa efek. 

Masalahnya, menginjak bulan keenam ia di sana, keluhannya makin menjadi-jadi. Bukan lagi soal lembur, tapi katanya sangat tidak jelas job description-nya, struktur organisasinya juga tak jelas, sehingga ia tak yakin kariernya bakal naik ke jenjang yang lebih tinggi.

Kalau saya melihat penggolongan usia atau penggolongan tahun kelahiran, menurut referensi yang saya baca, anak saya itu tergolong generasi milenial. Konon inilah generasi yang paling tidak loyal, atau kurang loyal jika dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.

Saya sendiri, saat awal berkarier di sebuah perusahaan milik negara yang bergerak di bidang keuangan, juga banyak merasakan ketidakpuasan. Tapi akhirnya saya mampu bertahan hingga pensiun di usia 56 tahun, tiga tahun lalu. 

Kemudian, hingga sekarang, perusahaan negara lainnya, yang merupakan pesaing dari tempat saya bekerja sebelumnya, mengontrak saya sebagai, anggap saja namanya staf ahli yang membantu dewan komisaris, yang masuk bekerja di hari-hari tertentu saja. 

Tapi saya tahu persis apa keluhan teman saya yang menjadi pejabat di divisi human capital, baik di tempat saya yang lama, maupun di tempat saya sekarang. Bahwa pegawai yang mereka rekrut sejak sepuluh tahun terakhir ini, tingkat turnover-nya telatif besar, jauh meningkat ketimbang periode-periode sebelumnya.

Padahal dari soal gaji, kedua perusahaan milik negara tersebut sudah terhitung lumayan, tak kalah dengan yang diberikan perusahaan swasta besar yang bergerak di bidang bisnis sejenis. Kejelasan jenjang karierpun sudah dibenahi, sehingga anak muda yang kompeten bisa mendapat jabatan yang meloncati seniornya.

Gara-gara tingginya turnover tersebut, padahal biaya rekrutmen tidak sedikit yang dikeluarkan perusahaan, akhirnya menjadi kelaziman di banyak perushaan milik negara mewajibkan  pegawai yang baru direkrut untuk menandatangani  konrak kerja selama 5 tahun. Bila ada yang resign selama masa kontrak, wajib membayar uang sejumlah tertentu yang tertulis dalam kontrak.

Sebagai jaminan bahwa kontrak tersebut dilaksanakan dengan baik, ijazah sarjana dari pegawai yang baru direkrut, ditahan divisi human capital selama masa kontrak. Pada era saya direkrut dulu, tak ada kewajiban untuk membayar apabila resign, tak ada pula penyerahan ijazah sebagai jaminan.

Hanya saja, beberapa teman di angkatan saya, termasuk beberapa angkatan sebelum dan sesudahnya, ada yang mengalami cinlok (cinta lokasi sewaktu mengikuti program on the job training) dengan sesama pegawai. Padahal ada peraturan, suami-istri tidak boleh bekerja di perusahaan yang sama. Akibatnya, salah satu, kebanyakan yang wanita, akan resign dari perusahaan.

Namun apakah dengan pola kontrak 5 tahun beserta denda bila mengundurkan diri, membuat generasi milenial jadi loyal? Ternyata bagi yang punya uang tetap saja berkeinginan untuk keluar. Yang tidak punya uang yang cukup, terpaksa menunggu habisnya masa kontrak, lalu baru resign.

Padahal saya melihat perusahaan sudah berupaya sedemikian rupa agar generasi milenial betah bekerja. Contohnya, sekarang sudah dibolehkan bekerja dengan berpakaian kasual, seperti yang lazim di perusahaan swasta. Ruang kerja pun dirancang bergaya kekinian, ada alat-alat musik, ada fasilitas karaoke, ada fasilitas buat olahraga seperti di pusat kebugaran, yang bisa digunakan para pegawai.

Dengan fasilitas yang terkesan memanjakan pegawai milenial itu, sebagian berhasil meningkatkan loyalitas pegawai. Tapi tidak bagi sebagian yang lain. Terlalu banyak profesi kekinian yang lebih fleksibel, lebih bebas, dan lebih menantang kreativitas, menjadi saingan utama bagi perusahaan konvensional. 

Dulu bekerja di bank, di perusahaan minyak, di perusahaan konsultan teknologi informasi, atau di perusahaan milik konglomerat, menjadi incaran banyak fresh graduate. Kalaupun mereka pindah kerja, paling-paling ke perusahaan sejenis yang menawarkan gaji lebih tinggi.

Sekarang ada banyak sekali profesi baru yang tidak mengikat, bisa dikerjakan sesuai selera masing-masing. Kebanyakan merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan teknologi informasi dan media sosial yang termasuk dalam sektor ekonomi kreatif. 

Banyak pula yang berwirausaha di bidang kuliner dengan menawarkan berbagai makanan dan minuman hasil racikan mereka setelah melakukan beberapa kali percobaan yang bersifat trial and error. Siapa sangka kalau berjualan kopi dengan beberapa variasi aroma, baik secara langsung maupun melalui penjualan daring, bisa menuai sukses.

Lalu mereka yang sukses membuka usaha startup (rintisan), dari skala amat kecil, kemudian mengglobal dalam waktu beberapa tahun saja, menjadi idola generasi milineal. Itulah yang dilakukan mereka yang merintis usaha dengan brand Gojek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, sekadar menyebut beberapa contoh saja.

Kembali menyoal loyalitas, sebetulnya bila kita buka berita di media daring akan bertemu informasi yang merupakan hasil survei sejumlah lembaga yang kredibel secara internasional. Hasilnya merata di banyak belahan dunia, generasi milenal memang kurang loyal.

Sebagai contoh, kumparan.com (21/7/2018) menulis berdasarkan survei yang dilakukan konsultan Deloitte pada 10.455 responden milenial yang bekerja sebagai karyawan full time di 36 negara. Survei bertujuan untuk melihat kebiasaan milenial dalam bekerja, termasuk loyalitas mereka terhadap perusahaan.

Hasilnya hanya 28 persen yang memiliki rencana untuk tetap pada pekerjaannya sekarang, paling tidak untuk lima tahun ke depan. Adapun alasan mereka yang ingin pindah pekerjaan, tidak saja karena faktor gaji, tapi juga karena kehilangan kepercayaan terhadap etika perusahaan dan ada pula yang melihat perusahaan  kurang mempedulikan masyarakat secara umum.

Artinya, generasi milenial ingin bekerja di perusahaan yang menerapkan etika secara bersungguh-sungguh, bukan hanya sekadar diceramahkan di ruang pelatihan bagi pekerja baru. Perusahaan yang tidak berkontribusi bagi masyarakat banyak juga kurang disukai generasi milenial.

Tapi, dari pengamatan saya sekilas, perusahaan yang memberikan keleluasaan bagi karyawan untuk mengembangkan kreativitasnya, mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi, tidak terlalu banyak birokrasi, dan berbudaya lebih egaliter tanpa banyak disusupi unsur feodalisme, diyakini mampu berkembang dan disukai oleh generasi milenial.

Mereka yang bekerja di suatu perusahaan saja sampai pensiun memang akan semakin langka pada masa mendatang. Tapi bukan berarti para pegawai milenial tidak loyal, karena mereka mempunyai pengertian yang bebeda dalam memandang loyalitas. Kesetiaannya tidak lagi bagi satu perusahaan saja, tapi pada nilai-nilai kreativitas, etika, dan kontribusi bagi masyarakat banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun