Bahwa kebiasaan masyarakat dalam berhubungan dengan bank telah berubah dibenarkan oleh Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI Indra Utoyo. Transaksi internet dan mobile banking BRI selama Januari hingga April 2020 ini mengalami peningkatan sekitar 60 persen.Â
Pengalaman BNI juga sejalan dengan permintaan Wamen BUMN di atas. Hal ini tergambar dari berita kompas.com (26/5/2020) yang memuat pernyataan Wakil Direktur Utama BNI Anggoro Eko Cahyo. Disebutkan bahwa BNI mengimplementasikan berbagai strategi dan inovasi berdasarkan perubahan perilaku, cara berinteraksi, berkomunikasi, dan bertransaksi nasabah.
BNI akan segera mengubah outlet konvensional menjadi outlet digital guna memaksimalkan pelaksanaan new normal. Manajemen BNI sangat yakin karena melihat telah terjadi lonjakan transaksi yang signifikan pada outlet digitalnya selama triwulan 1 2020 jika dibandingkan dengan triwulan 1 tahun lalu.
Memangkas kantor cabang, di satu sisi jelas akan sangat besar pengaruhnya, karena memberikan penghematan bagi masing-masing bank. Biaya listrik, biaya administrasi, biaya perawatan gedung kantor, akan berkurang jauh. Jika gedung tersebut disewa, maka anggaran biaya sewa akan menurun tajam.Â
Apabila gedung tersebut milik sendiri, bisa menjadi sumber pendapatan baru bila disewakan ke pihak lain. Atau akan menerima uang masuk yang relatif besar, bila kantor-kantor itu dijual.
Masalahnya, dilihat dari sisi lain, terutama dari pandangan para karyawan dan keluarganya, menimbulkan pertanyaan, apakah pemangkasan kantor secara besar-besaran itu sekaligus berarti akan ada PHK massal?
Bisa jadi istilah PHK akan sangat tabu bagi perusahaan milik negara. Bukankah mengurusi para pekerja yang telah di-PHK oleh perusahan swasta selama pandemi ini, konon berjumlah sekitar 4 juta orang, sudah bikin pusing pemerintah?
Namun, bila memang kantor cabang mau dipangkas separuhnya, mau dikemanakan para pegawai di kantor-kantor yang dipangkas itu? Maka memberikan program jabat tangan emas (golden handshake) dengan memberi iming-iming sejumlah uang yang besar, jauh di atas ketentuan Menteri Tenaga Kerja terkait kewajiban perusahaan yang mem-PHK karyawannya, bukan tidak mungkin menjadi pilihan bagi manajemen bank BUMN.
Biasanya para pegawai yang ditawari program jabat tangan emas itu akan tergiur, merasa akan mampu berinvestasi dari uang yang diterima. Tapi dari pengalaman saat krisis moneter 1998 dulu, banyak di antara mereka yang dapat rezeki nomplok itu, dalam waktu relatif singkat sudah tak berbekas lagi uangnya.
Maka terhadap rencana bank-bank milik negara tersebut, sebaiknya tidak dilakukan secara drastis, mungkin bisa dimulai cukup dengan memangkas 5 persen kantor cabang saja. Itupun sebaiknya di kota-kota besar yang memang selama ini sebuah bank bisa punya kantor yang berdekatan jaraknya.Â
Terhadap karyawan di cabang yang terkena pemangkasan itu, diberikan pelatihan agar mampu bekerja menggarap bisnis perbankan lainnya yang selama ini belum tergarap secara maksimal, seperti membiayai para pelaku usaha di bidang pertanian, perikanan, sektor ekonomi kreatif, dan sebagainya.