Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memberi Uang Seseorang, Perlukah Diatur Bagaimana Pemanfaatannya?

28 Mei 2020   10:10 Diperbarui: 28 Mei 2020   10:08 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan saya kali ini tentang pemberian dari orang yang punya kelebihan rezeki kepada orang lain yang kekuarangan. Pendapat umum menyatakan bahwa si pemberi sungguh berhati mulia, dan posisinya secara strata sosial jauh di atas orang yang diberi. 

Maksudnya, ini bukan hubungan yang bersifat saling membutuhkan, tapi hanya seolah-olah satu pihak saja yang membutuhkan. Dalam hal ini orang yang kurang berpunya dianggap membutuhkan belas kasihan dari orang yang lebih berpunya.

Padahal menurut saya, ini hubungan yang saling membutuhkan. Bukankah si pemberi juga membutuhkan orang yang akan diberinya? Si pemberi perlu mengeluarkan uangnya dalam rangka membersihkan hartanya. 

Atau kalaupun tidak disangkutpautkan dengan ajaran agama tentang kewajiban berzakat, pada dasarnya ada kepuasan psikologis tersendiri bagi orang yang senang berbagi. Jadi, berbagi menjadi sebuah kebutuhan pula bagi sebagian orang.

Meskipun sangat jarang terjadi, bayangkan kalau si penerima menolak pemberian itu. Tentu hal ini akan menambah kesibukan orang yang butuh mengeluarkan rezekinya itu, dalam arti ia harus mencari sasaran baru.

Sayangnya amat jarang yang beranggapan bahwa si pemberi pun butuh si penerima, mungkin karena di negara kita begitu banyak yang ingin menerima bantuan, di pihak lain relatif tidak begitu banyak yang mampu dan mau memberikan sebagian rezekinya.

Tapi cobalah cari informasi apa yang terjadi di negara kaya, yang justru terlalu banyak punya warga yang kelebihan harta, padahal warga yang layak dibantu sangat sedikit. Untung sekarang ada lembaga yang menyalurkan bantuan itu untuk dikirimkan kepada masyarakat miskin di banyak negara Afrika.

Nah sekarang tentang pengalaman saya sendiri. Karena anggapan bahwa si penerima bantuan sebagai pihak yang membutuhkan dalam hubungan yang tidak setara, saya terlibat diskusi yang serius dengan salah seorang kakak saya.

Ceritanya begini. Saya punya seorang kakak sepupu yang hidupnya cukup prihatin. Ia sudah berumur 65 tahun, dan sudah belasan tahun menjanda setelah suaminya meninggal dunia. Kakak sepupu ini punya tiga anak yang semuanya sudah berkeluarga, tapi satu di antaranya tinggal bersama saudara sepupu saya itu, di sebuah desa di Kabupaten Agam, Sumbar.

Dua anaknya yang lain tinggal di kota Cilegon dan Padang, hidupnya juga relatif sulit, sehingga tak bisa diharapkan untuk mengirimkan uang buat ibunya di kampung. Maka bagi saya serta beberapa saudara kandung saya, memberikan bantuan keuangan  ke kakak sepupu itu sudah merupakan hal yang rutin.

Hanya saja, dalam rangka menyambut lebaran, saya sengaja mengirim uang agak banyak dari biasanya ke kakak sepupu. Uang tersebut saya transfer ke rekening kakak saya yang tinggalnya hanya belasan kilometer dari rumah kakak sepupu. Lagi pula kakak sepupu tidak punya rekening bank. 

Kakak saya kaget dan bertanya kok saya agak banyak membantu kakak sepupu itu? Saya menyebut mungkin kebutuhan kakak sepupu juga banyak. Rupanya dua saudara lain yang tinggal di Riau juga mengirim uang untuk kakak sepupu melalui kakak saya pada waktu yang hampir bersamaan.

Tak ada masalah sebetulnya, karena kiriman saya sudah sampai ke orang yang dituju. Masalahnya, dalam sebuah percakapan melalui WhatsApp (WA), si kakak bercerita bahwa sewaktu ia mengantarkan uang ke kakak sepupu, ternyata disertai "ceramah" agar uang disimpan sebagian dan jangan terlalu banyak untuk jajan cucu-cucunya. 

Seperti yang telah saya tulis, salah seorang anaknya yang telah berkeluarga, ikut tinggal bersama kakak sepupu saya. Tapi suami si anak ini atau menantu dari kakak sepupu, merantau ke salah kota di Riau, jadi pedagang kecil, dan sekitar dua bulan sekali pulang ke kampung selama seminggu. 

Akibatnya empat cucu kakak sepupu, sering minta uang ke neneknya, hanya untuk membeli jajan di warung terdekat dari rumahnya. Apalagi kalau cucu-cucunya tahu neneknya lagi dapat uang, mereka akan berguling-guling kalau tidak diberi uang jajan.

Dengan segala hormat ke kakak saya sendiri, akhirnya saya menyampaikan pandangan bahwa sebaiknya kalau memberikan bantuan, ya berilah dengan ikhlas, tanpa syarat apapun. Mengatur bagaimana si penerima bantuan memanfaatkan uang yang diterimanya, saya nilai sebagai keihklasan yang tercemar.

Saya teringat tahun lalu bagaimana kakak saya menyatakan ketidaksetujuannya kalau saudara sepupu menggunakan uang bantuan yang diterimanya untuk membeli dan memasang toilet duduk, pengganti toilet jongkok yang sebelumnya ada. 

Menurut saya si penerima lebih tahu apa yang dibutuhkannya dan silakan menggunakan uang yang diterimanya untuk kebutuhan tersebut. Berbeda halnya bila yang diberikan adalah anak-anak yang belum bisa berpikir secara logis, dalam hal ini berikan ke orang tuanya atau ke pengasuhnya bila orang tuanya sudah tidak ada. Yang diserahkan ke tangan anak, sekadar uang jajan saja.

Berbeda pula bila menyumbang buat hal yang sudah jelas penggunaannya. Contohnya, panitia pembangunan masjid mengumumkan bahwa masih diperlukan uang untuk membeli semen atau bahan bangunan lainnya. Atau pengelola asrama anak yatim piatu yang membutuhkan bantuan untuk membayar uang sekolah anak-anak di asrama itu. 

Namun kalau memberi bantuan ke individu tertentu yang sudah dewasa, ya berikan begitu saja, tanpa syarat apapun. Jangan diatur-atur, yang malah merusak nilai pemberian dan juga merusak hati si penerima. Bukankah kata pak ustadz, tangan kanan yang memberi, tangan kiri tak perlu tahu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun