Tulisan saya kali ini tentang pemberian dari orang yang punya kelebihan rezeki kepada orang lain yang kekuarangan. Pendapat umum menyatakan bahwa si pemberi sungguh berhati mulia, dan posisinya secara strata sosial jauh di atas orang yang diberi.Â
Maksudnya, ini bukan hubungan yang bersifat saling membutuhkan, tapi hanya seolah-olah satu pihak saja yang membutuhkan. Dalam hal ini orang yang kurang berpunya dianggap membutuhkan belas kasihan dari orang yang lebih berpunya.
Padahal menurut saya, ini hubungan yang saling membutuhkan. Bukankah si pemberi juga membutuhkan orang yang akan diberinya? Si pemberi perlu mengeluarkan uangnya dalam rangka membersihkan hartanya.Â
Atau kalaupun tidak disangkutpautkan dengan ajaran agama tentang kewajiban berzakat, pada dasarnya ada kepuasan psikologis tersendiri bagi orang yang senang berbagi. Jadi, berbagi menjadi sebuah kebutuhan pula bagi sebagian orang.
Meskipun sangat jarang terjadi, bayangkan kalau si penerima menolak pemberian itu. Tentu hal ini akan menambah kesibukan orang yang butuh mengeluarkan rezekinya itu, dalam arti ia harus mencari sasaran baru.
Sayangnya amat jarang yang beranggapan bahwa si pemberi pun butuh si penerima, mungkin karena di negara kita begitu banyak yang ingin menerima bantuan, di pihak lain relatif tidak begitu banyak yang mampu dan mau memberikan sebagian rezekinya.
Tapi cobalah cari informasi apa yang terjadi di negara kaya, yang justru terlalu banyak punya warga yang kelebihan harta, padahal warga yang layak dibantu sangat sedikit. Untung sekarang ada lembaga yang menyalurkan bantuan itu untuk dikirimkan kepada masyarakat miskin di banyak negara Afrika.
Nah sekarang tentang pengalaman saya sendiri. Karena anggapan bahwa si penerima bantuan sebagai pihak yang membutuhkan dalam hubungan yang tidak setara, saya terlibat diskusi yang serius dengan salah seorang kakak saya.
Ceritanya begini. Saya punya seorang kakak sepupu yang hidupnya cukup prihatin. Ia sudah berumur 65 tahun, dan sudah belasan tahun menjanda setelah suaminya meninggal dunia. Kakak sepupu ini punya tiga anak yang semuanya sudah berkeluarga, tapi satu di antaranya tinggal bersama saudara sepupu saya itu, di sebuah desa di Kabupaten Agam, Sumbar.
Dua anaknya yang lain tinggal di kota Cilegon dan Padang, hidupnya juga relatif sulit, sehingga tak bisa diharapkan untuk mengirimkan uang buat ibunya di kampung. Maka bagi saya serta beberapa saudara kandung saya, memberikan bantuan keuangan  ke kakak sepupu itu sudah merupakan hal yang rutin.
Hanya saja, dalam rangka menyambut lebaran, saya sengaja mengirim uang agak banyak dari biasanya ke kakak sepupu. Uang tersebut saya transfer ke rekening kakak saya yang tinggalnya hanya belasan kilometer dari rumah kakak sepupu. Lagi pula kakak sepupu tidak punya rekening bank.Â