Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jika Seorang CEO Mempublikasikan Strategi Bisnisnya, Akankah Jadi Bumerang?

2 Juni 2020   00:07 Diperbarui: 2 Juni 2020   04:52 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok Forbes Indonesia

Saya relatif sering membaca media cetak, khususnya koran dan majalah dengan segmen khusus, karena kontennya mayoritas berita ekonomi dan bisnis. Sudah biasa media seperti itu menyajikan wawancara yang mendalam dengan seorang chief executive officer (CEO) atau seorang direktur utama dari sebuah perusahaan. Tentu telah melalui pertimbangan redaksi media tersebut dalam memilih orang yang akan diwawancarai.

Menarik juga bila si pewawancara pintar menggali informasi, apa saja strategi bisnis yang mungkin dianggap rahasia perusahaan, bisa terungkap ke publik. Pertanyaannya, apakah wawancara tersebut tidak menjadi bumerang bagi perusahaan dan malah menguntungkan buat perusahaan pesaing karena bisa lebih cepat mengantisipasi gerakan kompetitornya?

Sebagai contoh, saya baru saja membaca majalah Forbes Indonesia edisi Maret 2020. Kebetulan pada edisi tersebut yang diwawancarai adalah CEO dari sebuah bank milik negara yang sekaligus menjadi bank yang terbesar dari sisi aset dan laba di tanah air. Bank dimaksud adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Sunarso yang telah menakhodai BRI sejak akhir tahun lalu, setelah cukup lama menduduki wakil direktur utama di bank yang sama, dengan gamblang memaparkan bahwa meskipun sekarang BRI sudah lama menjadi raja untuk micro banking, BRI akan masuk ke segmen yang lebih dalam lagi di lokasi-lokasi yang belum tersentuh pelayanan bank. 

Hebatnya, nasabah kecil-kecil itu, yang oleh sebagian bank lain sengaja dihindari, malah menjadi penyumbang laba terbesar bagi BRI. Sekarang untuk mempercepat pelayanan karena mulai tersaingi pinjaman online, BRI serius melakukan strategi digitalisasi terhadap micro banking.

BRI secara serius melakukan berbagai tahapan untuk digitalisasi yang menjangkau seluruh pelosok negeri. Tak berlebihan kiranya bila BRI menjadi satu-satunya bank di dunia yang punya satelit sendiri, karena wilayah kerja BRI menjangkau hingga daerah terluar, termasuk yang hanya bisa dijangkau dengan kapal khusus yang disulap menjadi kantor bank yang menyinggahi pulau-pulau kecil.

Prinsip small is beautiful sepertinya cocok untuk mendeskripsikan bisnis BRI yang mengumpulkan nasabah-nasabah kelas "receh" seperi pedagang di warung pinggir jalan, di pasar tradisional, petani, nelayan, dan kelompok masyarakat kelas bawah lain. Tapi receh-receh begitu dikalikan puluhan juta nasabah, jelas bisnis yang meraksasa.

Sekarang banyak pengamat yang memprediksi bank-bank bakal habis disalib perusahaan teknologi finansial yang menyediakan pinjaman online. Tapi CEO BRI seolah ingin mengatakan, jangan ragu, BRI telah menyiapkan strategi khusus menghadapi serangan pesaing baru yang menghadirkan aktivitas bank cukup dari telpon pintar saja.

Seperti yang dipaparkan Sunarso, banyak juga CEO lain yang seolah sengaja mengumbar strategi bisnisnya. Ini bisa jadi semacam pancingan yang si CEO telah memprediksi akan seperti apa tanggapan pihak perusahaan pesaing. Jika pesaing termakan dengan pancingan itu, si CEO sudah punya langkah baru yang mungkin di luar dugaan banyak orang.

Apakah perusahaan itu tidak takut strateginya ditiru pesaing? Tidak gampang meniru bulat-bulat strategi perusahaan yang lagi leading di industrinya. Ambil contoh BRI itu tadi, ada banyak bank yang sudah mencoba menggarap pinjaman mikro yang selama ini dirajai oleh BRI. Ada Danamon Simpan Pinjam yang meniru pola BRI Unit Desa. Ada Unit Mikro Mandiri, dan sebagainya.

Tapi sejauh ini BRI seperti melenggang sendirian karena sudah punya budaya kredit mikro sejak tahun 1986 dengan meluncurkan produk Simpedes (Simpanan Pedesaan) dan Kupedes (Kredit Umum Pedesaan). Standar prosedur BRI bisa ditiru, tapi  membangun budayanya tidak bisa instan.

BRI sering melalukan pendekatan menggunakan budaya lokal di masing-masing daerah, dengan merekrut pekerja yang juga warga lokal yang menjemput bola ke warung atau rumah nasabah. Hadiah-hadiah yang ditawarkan pada nasabahnya, juga barang-barang kecil, tapi disukai nasabah karena jumlah pemenangnya lebih banyak

BRI tampaknya amat sadar, bisnisnya juga diincar oleh bank lain. Bahkan pejabat BRI sering berkata secara diplomatis bila lagi berkumpul dalam asosiasi bank-bank nasional, dengan mengatakan "mari kita garap ramai-ramai kredit mikro karena potensi yang belum terserap oleh perbankan masih banyak".

Ingat, tidak selalu bersaing itu diartikan secara sempit, karena dalam hal-hal tertentu, industri yang sejenis berhimpun dalam asosiasi untuk bisa bekerja sama. Maka janganlah berpikiran picik untuk menghancurkan pesaing, lalu ingin memonopoli usaha, itu sudah tidak etis dalam paradigma bisnis di era sekarang.

Justru ketika tidak tercipta persaingan, karena suatu perusahaan amat dominan, harus dibuat iklim yang kondusif agar muncul persaingan, sehingga perusahaan yang dominan itu tadi tidak terlena, dan konsumen diuntungkan karena ada pilihan lain.

Maka betapa perkasanya Indomie, tetap perlu sparring partner Mi Sedap. Coca Cola butuh Pepsi, agar kreativitas masing-masingnya tetap tumbuh. Demikian pula Nike versus Adidas, dan silakan ditambah dengan contoh lain.

Kembali ke soal publikasi atas strategi binis, yakinlah seorang CEO pasti sudah punya gambaran, mana strategi yang mau diungkap, mana yang harus ditutup rapat-rapat. Bahkan sebuah perusahaan yang telah go public pun, punya banyak dokumen yang dibubuhi cap confidential.

Perlu diketahui, seorang CEO yang tergolong media darling punya banyak keuntungan. Popularitas adalah keuntungan yang memperkuat brand perusahaan yang dipimpinnya, sekaligus brand si CEO sebagi individu. Dengan naiknya popularitas tersebut, bukan tak mungkin si CEO mendapat tawaran untuk memimpin perusahaan lain dengan gaji dan bonus yang jauh lebih besar.

Memang ada CEO yang sengaja menjaga jarak dengan jurnalis dan menyerahkan urusan publikasi pada corporate secretary-nya, khususnya yang membidangi public relation atau hubungan masyarakat (humas).

Perlu dibedakan pula wawancara seorang CEO dengan wawancara seorang pejabat pemerintah. Bagi pemerintah, tidak ada istilah rahasia perusahaan, karena pemerintah bukan lembaga yang mencari keuntungan dari masyarakat. Tak ada juga yang bisa dianggap sebagai pesaing dari pemerintah, kecuali di musim pilpres atau pilkada, mungkin ada strategi petahana yang disembunyikan, di luar tema kampanye yang sengaja diumbar.

Pada akhirnya, semua strategi yang dilakukan seorang pemimpin, baik di perusahaan maupun di instansi pemerintah, perlu diungkap sebagai lesson learned bagi generasi mendatang. Biasanya setelah pensiun, bermunculan buku biografi atau kisah sukses seorang pemimpin yang banyak mengupas sisi kepemimpinannya. Dari buku tersebutlah akan diketahui apakah ada hal yang dulu dirahasiakan (untold stories)?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun