Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Dampak PSBB, Bukan (Hanya) Lapisan Termiskin yang Paling Rentan

13 Mei 2020   10:10 Diperbarui: 13 Mei 2020   15:58 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kelas menengah. (sumber: thinkstockphotos.com via kompas.com)

Tapi jangan salah sangka. Tulisan ini bukan mengatakan bahwa masyarakat terbawah tidak menjadi prioritas untuk menerima bantuan sosial, hanya karena mereka sudah terbiasa hidup dalam budaya kemiskinan.

Kelompok lapisan terbawah yang banyak diisi oleh penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) seperti warga yang tidak punya tempat tinggal yang permanen, ada yang tinggal dalam gerobak, dalam gubuk kardus, di emperan toko, atau di kolong jembatan, sudah "imun" dengan kondisi tersebut.

Bahwa bagaimana mengangkat tingkat kesejahteraan kelompok lapisan terbawah ini, sudah menjadi PR pemerintah dan para penggiat sosial, sejak dahulu kala dan tetap belum tertuntaskan sampai sekarang, itu satu hal yang tak terbantahkan.

Foto Antara/ M Risyal Hidayat
Foto Antara/ M Risyal Hidayat
Namun dalam kaitannya dengan dampak pandemi Covid-19, kelompok paling rentan karena mengalami degradasi gaya hiduplah yang tak kalah pentingnya untuk mendapat perhatian khusus.

Bukankah kita sering membaca berita adanya kepala keluarga yang melakukan bunuh diri setelah ia membunuh istri dan anak-anaknya. Justru biasanya yang melakukan tindakan yang bikin miris ini bukan kelompok lapisan terbawah, melainkan para pekerja yang baru terkena PHK.

Sebetulnya si pelaku bunuh diri itu punya latar belakang pendidikan yang baik, demikian pula istrinya. Anak-anaknya juga disekolahkan. Hanya saja demikian besarnya guncangan yang diterimanya, membuat akal sehatnya hilang.

Tidak hanya kasus bunuh diri sekeluarga, tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) disinyalir mengalami peningkatan gara-gara dampak pandemi Covid-19 ini. Suami yang stres gampang tersulut emosinya, dan sasaran yang tidak bisa melawan adalah istri dan anak-anaknya.

Parahnya, kelompok yang tiba-tiba turun kelas itu tidak akan tergiur bila hanya diiming-imingi dengan bantuan sembako atau bantuan lain yang sifatnya temporer. Bantuan tetap diterimanya, tapi itu saja belum cukup.

Namun ada pula segelintir orang yang turun kelas itu malu menerima bantuan dan bersikap ke lingkungannya seolah-olah ia masih bisa hidup normal. Kepura-puraan inilah yang lebih berbahaya, menjadi bom waktu yang suatu saat tak tertahankan lagi, meledak berkeping-keping.

Jelaslah, kita, maksudnya paling tidak pemerintah dan para penggiat sosial, memerlukan tim terpadu dalam memberikan bantuan. Sebaiknya pada setiap kelompok kerja atau istilahnya satuan tugas, harus menyertakan pula seorang atau beberapa orang psikolog yang kompeten menangani masalah kejiwaan. 

Ironisnya, jumlah psikolog di negara kita tampaknya belum memadai atau persebarannya masih menumpuk di kota besar saja. Semoga saja badai Covid-19 cepat berlalu dan dampaknya, tidak saja di bidang medis, tapi juga bidang ekonomi dan sosial, dapat terselesaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun