Meskipun saya bukan orang Jawa, saya termasuk penggemar lagu-lagu Didi Kempot. Tak sepenuhnya memang saya pahami lirik lagunya kata per kata, namun secara keseluruhan saya menangkap isi lagu tersebut, lagu-lagu patah hati yang dibawakan secara ringan dan riang.
Selasa siang (5/5/2020) saya lagi mengikuti acara yang ditayangkan salah satu stasiun televisi, mewawancarai beberapa narasumber yang mengenal dekat almarhum Didi Kempot, yang baru saja meninggal dunia, di pagi Selasa tersebut.
Semua narasumber, meskipun diwawancarai pembawa acara secara terpisah, sepakat bahwa Didi Kempot adalah seniman tulen. Didi kemana-mana membawa gitar dan bisa menciptakan sebuah lagu dalam belasan menit saja ketika inspirasinya muncul.
Karakter Didi yang humble, sangat menghargai orang lain, meskipun ia tenarnya sudah luar biasa dan orang lain itu hanya sekadar penggemarnya saja, sangat menarik pula untuk diangkat.
Ringkasnya, Didi Kempot tidak menyadari bahwa ia adalah seorang superstar sehingga tetap bersikap tidak berjarak dengan orang lain. Bahkan Didi seperti sengaja menyembunyikan kelelahan fisiknya demi menghargai penggemar.
Saya semakin tertarik ketika pelawak senior yang terkenal sebagai salah seorang anggota kelompok Srimulat, Tarzan, dengan tegas mengatakan bahwa Didi Kempot adalah korban dari kerendahan hatinya sendiri.
Tarzan mengungkapkan bahwa pada November tahun lalu, ia sempat bertemu dengan Didi Kempot di bandara Solo. Tarzan saat itu bersama mantan ketua umum Muhammadiyah Din Syamsudin dan juga dengan Rektor Universitas Negeri Jakarta.
Karena melihat wajah Didi yang kecapean, Tarzan sempat memberi nasehat agar jangan terlalu keras mencari uang, tapi sampai melupakan kesehatan. Namun Tarzan tahu, bukan karena mencari uangnya, karena kerendahan hati Didi demi menghargai para penggemarnyalah yang membuat Didi kecapean.
Memang agak dilematis bagi seorang artis besar yang sangat bersikap njawani seperti Didi Kempot. Kultur Jawa sangat akomodatif dan sulit untuk menolak permintaan seseorang dengan alasan lagi capek. Didi bahkan berulang-ulang mengucapkan terima kasih pada penggemarnya yang sebetulnya menyita waktu dan bikin capek itu.
Tapi kalau dipikir-pikir, bukankah karena penggemarnya yang lintas suku, bahkan lintas negara sampai ke Suriname dan Belanda itu, yang melambungkan nama Didi Kempot justru pada usianya yang tidak lagi muda?
Artinya tidak salah-salah amat Didi menghargai semua penggemarnya. Atau apakah pengemarnya yang tidak tahu diri? Lupa kalau Didi seorang manusia biasa yang bisa lelah kalau selalu diajak ngobrol bareng, berfoto, minta tanda tangan, atau aktivitas lainnya antar seorang artis sekelas Didi Kempot dengan penggemarnya yang bejibun.