Tentang bagaimana heroiknya perjuangan para buruh yang betul-betul dilakukan oleh buruh, bukan pihak lain yang mengatasnamakan buruh, kisah tragis yang menimpa Marsinah, pantas kita renungkan.
Marsinah ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993, setelah lenyap sejak tiga hari sebelumnya. Merdeka.com (2/5/2016) menulis kronologi hilangnya Marsinah, buruh wanita yang tewas mengenaskan dengan kemaluan ditembak.
Marsinah memimpin aksi pekerja PT Catur Surya Putra, Sidoarjo, Jawa Timur, untuk mendapatkan kenaikan gaji dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari, sesuai dengan Instruksi Gubernur Jawa Timur ketika itu.
Namun aksi itu membuat perusahaan tersebut panas. Gaji memang naik, tapi Marsinah dan teman-temannya harus berurusan dengan aparat Kodim setempat. Mayat Marsinah akhirnya ditemukan di hutan Dusun Jegong, Desa Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Memang iklim perpolitikan yang cenderung otoriter pada era Orde Baru membuat tindakan pelanggaran hak asasi manusia relatif gampang terjadi. Tapi keberanian wanita buruh seperti Marsinah pantas mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan buruh Indonesia.
Nah, kalau sekarang dalam era perpolitikan yang lebih bebas, bermunculannya banyak sekali organisasi buruh, yang ironisnya dipimpin oleh mereka yang tidak betul-betul berasal dari kalangan buruh, perlu dicermati, bagaimana kiprah perjuangannya dan seperti apa hasilnya dalam meningkatkan kesejahteraan kaum buruh.
Memperhatikan bagaimana kehidupan organisasi serikat pekerja di banyak perusahaan yang mapan, termasuk di lingkungan BUMN, jangan heran kalau yang terpilih menjadi ketua serikat pekerja adalah karyawan yang sudah punya jabatan di level menengah.
Jadi para pengurus serikat pekerja tersebut tampaknya lebih berfungsi sebagai jembatan antara pihak pekerja level bawah dengan pihak manajemen yang punya posisi di level atas.
Sebetulnya pada saat terjadinya pemburukan kinerja perusahaan karena pandemi Covid-19 sekarang ini, yang lebih diperlukan adalah keterbukaan manajemen menjelaskan kemampuan keuangan perusahaan kepada semua karyawannya.
Pihak manajemen jangan mengambil jalan pintas dengan buru-buru mem-PHK karyawannya. Bila manajemen mau dengan sukarela mengurangi gaji dan berbagai tunjangan yang diterimanya, termasuk melakukan berbagai penghematan dalam berbagai bidang, mungkin nasib pekerja masih bisa diselamatkan.
Memperingati Hari Buruh, lazimnya dilakukan dengan aksi kaum buruh turun ke jalan menyuarakan aspirasinya. Tapi dengan  diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jabodetabek dan berbagai daerah lainnya, jangan membuat perjuangan kaum buruh menjadi kendor.Â