Pada dekade 1980-an dan 1990-an, saya sering melihat anak sekolah tingkat SMP dan SMA yang rajin mengikuti salat tarawih di masjid. Tidak hanya salat, tapi mereka juga rajin menyimak ceramah agama yang biasa dilakukan setelah salat Isya dan sebelum pelaksanaan salat tarawih.
Yang menarik perhatian saya, begitu salat tarawih berakhir, anak sekolah tersebut ramai-ramai minta Pak Ustadz yang tadi memberikan ceramah agama untuk membubuhkan tanda tangan pada kolom khusus di buku catatan yang disiapkan masing-masing anak.
Ada juga masjid yang lebih tertib. Anak-anak tidak boleh bergerombol ke depan, cukup ada dua orang yang membawa semua buku dari anak sekolah yang ada di masjid saat itu. Satu anak sebagai perwakilan cowok, satu lagi perwakilan cewek yang tempat duduknya di bagian belakang, terpisah oleh tirai kain.
Adapun buku yang disodorkan untuk ditandatangani penceramah itu disebut dengan Buku Harian Ramadhan (BHR). Selama 30 hari puasa setiap murid harus mencatat ibadah harian apa saja yang telah dilakukannya.
Sedangkan untuk ibadah salat tarawih dilengkapi dengan nama penceramah, ringkasan isi ceramah, dan kolom tanda tangan penceramah. Tentu saja dengan demikian diharapkan para murid serius menyimak ceramah dari Pak Ustadz.
Tapi betulkan anak-anak akan serius menyimak ceramah? Sebagian kecil anak yang boleh disebut "anak manis, Â ya akan rajin menyimak. Namun sebagian besar, terutama cowok-cowok, tetap saja banyak yang bercanda atau malah mengusili temannya. Banyak pula yang saat Pak Ustadz lagi berceramah, keluar masjid untuk jajan bakso.
Namanya juga anak yang agak bandel, biasanya banyak akal juga. Mereka pintar menyontek secara kilat catatan si anak manis itu tadi, lalu ikut menyodorkan BHR-nya ke penceramah. Bahkan tidak sedikit yang memalsukan tanda tangan penceramah.
Telah lama rasanya saya tidak lagi melihat kegiatan yang sebetulnya sangat bermanfaat itu. Maksudnya bukan di tahun ini, karena seperti yang sama-sama kita ketahui, selama Ramamadan kali ini, semua kita dianjurkan untuk beribadah di rumah.
Saya mendapat informasi, ada saja beberapa masjid di ibu kota yang tetap menyelenggarakan salat tarawih. Tapi saya sendiri memilih mematuhi instruksi pemerintah dalam rangka pelaksanaan program pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sehingga salat tarawih saya lakukan di rumah.
Tapi seingat saya sudah cukup lama, paling tidak selama beberapa tahun terakhir sampai Ramadan tahun 2019 lalu, tidak terlihat lagi anak sekolah membawa BHR saat salat tarawih.
Terlepas dari banyaknya murid yang nyontek catatan temannya dan juga memalsukan tanda tangan penceramah, pada prinsipnya metode mengisi BHR sangatlah bermanfaat dalam membangun mental remaja. Tentu ini juga berlaku buat pemeluk agama lain, yang materinya disesuaikan dengan pelaksanaan ibadah pada masing-masing agama.