Biar tidak salah persepsi, tulisan ini tidak bertendensi untuk membahas masalah akidah, apalagi mempertanyakan apakah wanita muslim (lazim disebut dengan muslimah) zaman dulu tidak sealim muslimah sekarang.
Tapi di keluarga saya, saya berani mengatakan bahwa almarhumah ibu saya adalah muslimah yang sangat tekun beribadah. Namun sampai beliau berpulang ke rahmatullah tahun 1990 silam, ibu saya tidak berhijab. Hanya melilitkan selendang sekeliling kepala, sehingga sebagian kecil rambut di dahi bagian atas masih terlihat.
O ya, saya jujur saja, saya tidak tahu apa beda hijab dan jilbab. Jadi dalam tulisan ini pengertian yang saya gunakan, hijab dan jilbab sama saja. Mohon maaf kalau keliru.
Sampai saat saya kuliah di paruh pertama dekade 80-an, pelajar dan mahasiswi yang berhijab masih dapat dihitung dengan jari tangan, kecuali yang belajar di pesantren dan di perguruan tinggi agama Islam.
Sekarang keadaan betul-betul berubah total, justru muslimah yang tidak berhijab jadi minoritas. Bahkan banyak kita lihat anak-anak perempuan yang masih balita sudah dipakaikan pakaian muslimah oleh orang tuanya.
Namun sebagai orang jadul, istri saya sendiri, meskipun kedua orang tuanya adalah guru mengaji, baru pakai hijab sejak tahun sejak tahun 2001 atau 2002, saat anak bungsu saya, satu-satunya cewek dari tiga bersaudara, masih berumur 2 tahun.
Saya ingat ketika itu kami sekeluarga mau mudik lebaran ke Sumbar (tentu saja tak ada larangan mudik ketika itu), saya anjurkan kepada istri saya agar memakai hijab, karena semua kakak dan adik perempuan saya yang akan berkumpul telah berhijab semua. Jangan sampai istri saya dicap aneh oleh saudara saya.
Kisah istri saya baru berhijab setelah punya anak tiga orang, rupanya diingat trus oleh anak bungsu saya. Waktu si bungsu sekolah di SMA, melihat teman-temannya lebih banyak yang berhijab, saya sarankan pula ia untuk berhijab. Tapi ia menolak dan memberikan alasan, kenapa harus sekarang, dulu mamanya saja saat sudah punya anak baru berjilbab.
Tapi alhamdulillah, tanpa dipaksa, saat si bungsu mulai masuk kuliah tahun 2017 lalu, ia memberikan kejutan buat saya dengan tampil berhijab, dan konsisten sampai sekarang setiap ia keluar rumah.
Sesekali saya menjemput si bungsu ke kampusnya dan melihat bahwa para mahasiswi memang sebagian besar memakai hijab. Saya jadi ingat juga di kantor tempat saya bekerja, mungkin sekitar 80 persen karyawati yang beragama Islam, menggunakan hijab.
Ada beberapa karyawati yang tadinya saya duga tidak akan terpengaruh untuk memakai hijab, akhirnya luluh juga, satu persatu mengikuti jejak teman-temannya yang sudah lebih dulu "hijrah". Hijrah? Ya, memang ada pendapat teman-teman saya, muslimah yang belum berhijab, dinilainya belum dapat hidayah atau belum hijrah.
Namun demikian, menurut pengamatas sekilas saya, ada juga beberapa tempat wanita berkarir yang sepertinya penggunaan hijab masih minoritas, meskipun dugaan saya lumayan banyak karyawatinya yang muslim.
Contohnya, para penyiar televisi, khususnya pembaca berita yang sering saya tonton dari berbagai stasiun televisi nasional, boleh dikatakan hampir semuanya belum berhijab.
Demikian pula para pramugari, pramuniaga di berbagai pusat perbelanjaan, teller bank, sales promotion girl, dan sebagainya. Pada hal di lingkungan artis saja, yang dinilai lebih hedonis, sudah lumayan banyak artis yang berhijab. Ini antara lain didukung oleh larisnya sinetron atau musik bernuansa religi.
Makanya, tak heran sekarang banyak produk yang memakai artis berhijab pada promosinya, karena menyadari betapa banyak konsumen yang disasar yang juga berhijab. Bahkan produk kosmetik khusus untuk wanita berhijab, semakin banyak saja beredar.
Adapun untuk profesi pegawai negeri (sekarang disebut aparatur sipil negara, ASN), sudah merata penggunaan hijab. Juga di lingkungan guru dan dosen. Dulu, guru-guru dan dosen saya di tahun 70-an dan 80-an, meskipun sudah hampir pensiun, masih belum berhijab. Sekarang guru dan dosen junior pun telah bertutup kepala.
Ketika belum lama ini saya reuni dengan teman sekolah, para wanita yang sekarang sudah berusia kepala lima, semuanya berhijab, sehingga banyak tidak saya kenali wajahnya, karena sangat berbeda dengan penampilannya puluhan tahun lalu.
Sayangnya, tak semua perempuan berhijab memperlihatkan citra positif. Saya kurang nyaman (meskipun terkadang juga menikmati), banyak wanita berhijab, yang sebetulnya belum memenuhi ajaran agama. Terutama banyak dipadu dengan celana panjang ketat.
Citra islami juga tercoreng melihat banyaknya wanita berhijab yang asyik pacaran di pojok-pojok taman kota. Bahkan tak sedikit pula pasangan mesum yang terjaring razia, buru-buru menggunakan hijab saat digiring ke mobil petugas.
Di lain pihak, sosialita kelas atas juga sangat kentara memakai busana muslim yang memperlihatkan bahwa mereka berada pada kelas elit. Ajang pengajian kelompok ini sekaligus menjadi ajang pamer kekayaan, hanya dibungkus dengan label islami. Para sosialita ini sangat memperhatikan trend busana muslim dengan segala asesorisnya.
Bagaimanapun, hanya sekadar mode atau memang karena alasan akidah, semakin banyaknya wanita berhijab merupakan hal yang pantas disyukuri. Namun jangan buru-buru mengklaim wanita sekarang lebih alim ketimbang wanita jadul.
Jangan pula wanita berhijab memandang derajat ketakwaannya di atas minoritas wanita muslim yang masih belum berhijab. Siapa yang lebih takwa, Allah yang tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H