Membaca betapa berdarah-darahnya bisnis perhotelan karena dihantam dampak pandemi Covid-19, terasa sangat menyesakkan dada. Demikian banyak pekerja hotel yang mendadak di-PHK, atau dirumahkan tanpa menerima gaji sepeserpun.
Tapi masih ada satu dua hotel yang tidak mem-PHK pekerjanya, bahkan masih berencana membayarkan THR meskipun dalam jumlah yang lebih kecil ketimbang yang diberikan tahun lalu.
Bisa diduga, hotel yang seperti itu barangkali milik grup usaha yang punya beberapa bidang bisnis, sehingga usaha yang masih menuai keuntungan diminta memberikan bantuan pada perusahaan yang sedang menderita kerugian.
Dalam istilah bisnis, melakukan diversifikasi usaha memang merupakan sesuatu yang lazim dilakukan para pengusaha. Tujuannya tidak saja untuk memperbesar pemasukan, tapi juga untuk berbagi risiko. Istilahnya, jangan menaruh telur dalam satu keranjang saja.Â
Grup usaha yang sudah demikian berkembang, beranak pinak sampai punya cucu dan cicit, di negara kita ada sejumlah grup seperti  ini, disebut juga dengan konglomerasi. Sebagian kalangan mungkin saja bersikap kritis pada konglomerasi, karena dinilai rakus, semua bisnis mau dirambahnya.
Namun ketika bencana datang seperti sekarang, justru terasa betapa pentingnya kehadiran konglomerasi. Soal dibilang rakus, sepanjang cara berbisnisnya telah mematuhi undang-undang dan ketentuan hukum yang berlaku, harusnya tidak perlu dipermasahkan,
Bukankah konglomerasi juga memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan negara, dengan menyerap banyak sekali tenaga kerja, membayar pajak, melakukan aksi sosial, dan sebagainya.
Bahwa ada konglomerasi yang bersikap tidak fair, main kongkalingkong dengan penguasa, tentu saja oknum yang bersalah harus ditindak serta dijatuhi hukuman yang setimpal.
Kalau mengacu pada referensi teori, ada beberapa jenis diversifikasi usaha. Ada yang bersifat vertikal, horizontal, diagonal, atau yang acak dalam arti antar produk yang dijual tidak saling berkaitan langsung.
Diversifikasi usaha yang bersifat vertikal adalah membangun kelompok usaha yang saling terkait dari hulu ke hilir. Misalnya dari peternakan sapi, industri penyamakan kulit, pabrik sepatu, dan gerai penjualan sepatu.Â
Tentu saja bila suatu grup sudah menguasai hulu hilir, sudah tergolong konglomerasi. Tujuannya adalah untuk mengamankan produksi, bahan baku dari suatu usaha masih berasal dari grupnya sendiri.Â
Sedangkan diversifikasi horizontal, produk yang dijualnya bisa bersifat komplementer seperti pembuatan sepatu, pembuatan dompet, ikat pinggang, tas, dan produk dari kulit lainnya. Bisa pula produk yang dijualnya bersifat substitusi, seperti sepatu dan sandal.
Adapun yang bersifat diagonal dan yang bersifat acak, lebih banyak dialami oleh kelompok usaha papan atas yang sebagian perusahaannya malah berbadan hukum asing. Tujuannya bisa jadi agar lebih leluasa bergerak, meskipun ada pula yang menuding sebagai upaya penghindaran pajak.
Memang bila melihat peta kelompok usaha dari sebuah konglomerasi, bisa dipecah lagi dalam beberapa sub-group,  dengan pola yang aneh-aneh. Tapi itu di luar topik tulisan ini yang lebih banyak melihat kelompok usaha yang diversifikasinya relatif mirip-mirip dan yang agak melebar. Itupun yang dikaitkan dengan bisnis perhotelan yang sekarang lagi tiarap.
Sebagai contoh dari diversifikasi yang mirip-mirip itu, bila kongolmerasi yang dibangun terdiri dari bidang perhotelan, convention center, biro perjalanan, wedding organizer, maka sebetulnya masih satu rumpun.Â
Yang seperti ini tidak bisa saling mengkompensasi, justu mati satu, mati semua. Artinya, bila hotelnya sekarat, tak akan mampu dibantu oleh usaha lainnya yang juga sama-sama sekarat.
Sedangkan yang diversifikasinya lebih melebar, bisa diambil sebagai contoh dari perusahaan-perusahaan yang dimiliki Chairul Tanjung dengan bendera CT Corp. Ada sejumlah hotel yang dinaunginya antara lain Trans Luxury Hotel Bandung dan Fashion Hotel Bali.Â
Kalau hotel di atas terhuyung digempur dampak Covid-19, CT Corp masih punya bisnis yang tak begitu bersentuhan dengan hotel seperti Trans TV, Bank Mega, Transmart, dan sebagainya. Sangat mungkin usaha yang masih untung membantu hotel yang lagi rugi.
Ada satu komponen biaya yang diduga cukup memberatkan sejumlah hotel di Indonesia yang memakai nama asing, yakni fee yang harus dibayar ke pemilik nama asing itu.
Bagi yang sering melewati Jalan Sudirman Jakarta, tentu tahu, dulu ada yang namanya Hotel Hilton di kawasan Semanggi. Mungkin karena tidak kuat lagi membayar fee-nya, sejak 2006 hotel tersebut sudah menggunakan nama lokal yakni Hotel Sultan.
Sampai sekarang masih banyak hotel di tanah air yang bekerja sama dengan pihak asing pemilik nama yang sudah mendunia seperti Four Seasons, Grand Hyatt, dan sebagainya. Belum didapat informasi, apakah di hotel seperti ini sudah terjadi PHK massal.
Namun masih ada hotel lokal yang berhasil masuk papan atas dan juga milik kelompok perusahaan yang terdiversifikasi secara luas. Umpamanya hotel milik Kelompok Kompas Gramedia (KKG).Â
Bisnis utama KKG memang di bidang media, namun sejak beberapa tahun terakhir ini juga moncreng di bidang perhotelan dengan perkembangan yang pesat. Jika menemukan Hotel Santika atau Hotel Amaris di berbagai kota di Indonesia, itu bukti keberhasilan KKG dalam melakukan diversifikasi usaha.
Semoga pandemi Covid-19 tidak terlalu lama berkelana di tanah air, sehingga dunia bisnis pun, termasuk perhotelan, kembali pulih. Inilah bisnis yang sangat strategis mendukung mimpi Indonesia untuk mampu menggenjot kedatangan wisatawan asing dengan jumlah yang jauh lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H