Kompasianer Zaldy Chan yang menulis ajaran Minang melalui berbagai pepatah dalam konteks bagaimana menjadi ayah yang baik, secara spontan mengingatkan saya pada sebuah pepatah Minang yang paling saya sukai, dan karenanya juga paling sering saya ingat.
Tapi sebelum itu izinkan saya menuangkan pengalaman pribadi lebih dari 30 tahun lalu. Pada paruh pertama dekade 1980-an, saya kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Padang.Â
Saya sangat bersemangat mengikuti kegiatan perkuliahan karena berhasil lolos masuk jurusan akuntansi yang memang saya minati. Masalahnya, di Unand, jurusan ini waktu itu relatif baru. Saya angkatan ketiga, dan dua angkatan sebelum saya tentu saja belum ada yang menyelesaikan kuliahnya.
Saat itu baru ada 5 perguruan tinggi yang punya jurusan akuntansi yang sudah mapan dan alumninya berhak menggunakan gelar SE Ak. (ada dua gelar, Sarjana Ekonomi dan Akuntan) setelah mendaftar dan menyerahkan ijazah ke Kementerian Keuangan. 5 perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Padjadjaran dan Universitas Sumatera Utara.
Agar alumni akuntansi Unand juga berhak menyandang titel Ak, harus dibina oleh perguruan tinggi pembina, yakni salah satu dari 5 perguruan tinggi di atas. Dalam hal ini Unand dibimbing oleh beberapa dosen senior dari UI.
Justru di sinilah masalahnya. Mata kuliah di beberapa semester akhir, penulisan skripsi dan ujian komprehensif (sidang ujian akhir) harus dipegang dosen UI, istilahnya waktu itu dosen terbang, yang tidak jelas kapan jadwal kedatangannya.
Ketika angkatan pertama saja belum ada yang lulus karena ketidakjelasan jadwal bimbingan skripsi, saya sudah lulus semua mata kuliah, termasuk beberapa mata kuliah yang diberikan dosen terbang. Maka saya pun sudah boleh menulis skripsi.
Namun  ada kebimbangan saya dan beberapa teman lain satu angkatan, akan berapa lama harus berjuang agar skripsi tuntas dan juga lulus ujian komprehensif.Â
Ada teman yang ingin menyerah, maksudnya cukup dibimbing dan diuji oleh dosen lokal saja, dengan konsekuensi hanya dapat gelar SE. Nanti bila ingin mendapat embel-embel Ak. harus mengikuti ujian negara seperti yang ditempuh mahasiswa perguruan tinggi swasta.
Alhamdulillah saya tidak terpengaruh dengan teman yang pesimis itu. Saya teringat pepatah Minang: indak ado kusuik nan indak ka salasai, indak ado karuah nan indak ka janiah. Pepatah itu saya tulis dan menghiasi halaman awal skripsi saya.
Terjemahan bebasnya adalah "tidak ada kusut yang tak akan bisa diselesaikan, tidak ada keruh yang tidak akan jernih". Â Artinya, betapapun beratnya suatu masalah atau musibah, pada waktunya akan teratasi juga.