Melakukan social distancing bukan berarti hubungan sosial kita dengan para para sahabat menjadi berkurang. Bertemu secara langsung tentu sulit dilakukan, namun pertemanan melalui dunia maya malah akan meningkat frekuensinya sebagai pengisi waktu di rumah.
Begitulah, akhir-akhir ini saya mulai agak aktif mencermati berbagai pesan baik berupa narasi, gambar, foto, atau video yang bersliweran di berbagai grup media sosial yang saya ikuti. Sebelumnya saya lebih sering sebagai peserta pasif saja.
Sebagai contoh, saya jadi punya waktu untuk menelusuri profile picture dari semua anggota grup WhatsApp (WA) teman kuliah saya satu angkatan dulu. Saya juga rajin melihat foto-foto di akun Facebook beberapa teman.
Terlepas dari berbagai dampak negatifnya dalam menduplikasi berita hoax atau bahkan dalam memecah belah masyarakat, bagi saya sendiri kehadiran media sosial sangat berarti. Pertemanan saya dengan beberapa teman sekolah atau kuliah yang puluhan tahun tidak bertemu, tersambung kembali.
Tentu saja informasi tentang teman-teman lama yang saya telusuri itu adalah teman-teman yang masih saya ingat dengan baik, namanya, kelakuannya, dan wajahnya saat remaja dulu.
Biasannya teman-teman yang punya sesuatu yang menonjol akan selalu kita ingat. Misalnya yang wajahnya cakep atau ganteng, yang pintar karena sering juara kelas, yang kaya karena sering mentraktir teman-teman, yang jago main basket, yang pemain band sekolah, yang penyanyi, yang penari, yang pintar ngaji, yang tukang berantem, dan sebagainya.
Demikianlah, ada seorang cewek cakep, "bunga" di kelas saya dulu, saya lihat foto-fotonya di media sosial, tapi sangat sedikit. Hanya foto di profil WA-nya yang lumayan jelas. Gak tahu itu foto kapan, yang jelas masih terlihat cakep, jauh lebih muda dari usianya sesungguhnya.
Saya beranikan diri memulai chatting duluan, melalui japri, bukan di grup WA yang kami sama-sama anggotanya. Bukan gombal, saya tak tahan, langsung saja memuji kecantikannya setelah ia membalas salam yang saya layangkan.
Ia langsung membalas dengan emoji orang tertawa, sambil berkomentar bahwa foto itu bisa menipu. Tapi setelah itu, dalam beberapa kali kesempatan yang terpisah, obrolan kami malah lebih banyak kepada hal lain, terutama menyangkut nilai-nilai kehidupan, baik dari kacamata sosial maupun agama.
Saya sungguh salah duga. Saya terlanjur punya penilaian bahwa wanita cakep biasanya lebih suka berbicara tentang fashion, traveling, dunia artis dan sosialita, atau sejenis itu. Ternyata yang ini tidak, ia seolah megajarkan kepada saya sesuatu yang lebih filosofis.
Ada lagi kisah chatting saya dengan salah seorang teman kuliah, bukan cewek, masak chatting dengan cewek saja, istri saya bisa sewot. Teman ini orangnya pintar, kaya, alim, dan ganteng. Tak heran ia sering dikerubungi cewek-cewek.Â
Saya pikir orang yang "paket komplit" seperti itu hanya ada dalam novel atau film Catatan Si Boy. Soalnya saya terlanjur beranggapan orang pintar biasanya kurang gaul, sedangkan yang anak gaul biasanya malas belajar.
Wajar kalau saya menduga teman ini sekarang telah sukses besar, mungkin jadi eksekutif di perusahaan multinasional atau punya perusahaan sendiri.
Namun dugaan saya keliru. Ia malah banyak berkeluh kesah. Ia resign dari sebuah bank swasta papan atas, lalu membuka usaha sendiri, tapi malah tertipu oleh rekan bisnisnya.
Sementara itu istrinya juga menggugat cerai. Betul-betul ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Saya makin kaget ketika ia memohon untuk meminjam sejumlah uang kepada saya.
Nah, poin tulisan saya, dalam membangun relasi pertemanan, jangan tertipu dengan first impression, atau kesan pertama, yang cenderung underestimate atau overestimate.
Kita cenderung menilai biasa-biasa saja teman yang pendiam dan berpenampilan pas-pasan. Tapi ada teman saya yang seperti ini sekarang sudah jadi guru besar di sebuah perguruan tinggi negeri.
Bila kita sudah mengatakan seseorang sebagai biasa-biasa saja, tunggu saja perkembangannya. Boleh jadi kelak satu persatu kelebihannya mulai terkuak, sehingga kita jadi kaget dan tidak menyangka berkat kegigihannya ternyata ia mampu begini, mampu begitu.
Tapi kalau kita telah terpukau pada pandangan pertama dan langsung berkomentar bahwa ia teman yang luar biasa, hati-hati saja. Boleh jadi kelak satu persatu kekurangannya mulai terkuak.
Tentu saja ada pula kesan pada pandangan pertama yang tetap konsisten. Yang dari awal jelek, ternyata sampai puluhan tahun kemudian tetap jelek. Yang dari awal sudah bagus, sampai tua pun tetap bagus. Tapi ini di luar konteks tulisan ini.
Adapun pesan tulisan ini adalah tentang pentingnya kita membangun relasi pertemanan yang sehat. Dalam hal ini, agar pertemanan tersebut nantinya saling melengkapi dan langgeng, jangan langsung menyimpulkan karakter seseorang hanya dari pandangan pertama semata-mata.
Sebetulnya hal ini berlaku bukan hanya dalam kaitannya dengan pertemanan biasa. Menurut saya cocok juga dalam membangun relasi bisnis atau bahkan bagi para jomblo yang berniat mencari pasangan hidup.
Betapa banyaknya orang yang tertipu dengan rekan bisnisnya atau dengan pasangan hidup pilihannya sendiri antara lain karena pada saat perkenalan, sudah langsung merasa yakin bahwa orang ini cocok dengan kita. Padahal masih perlu melakukan pendalaman atau bersabar menunggu beberapa lama sampai mengenal watak aslinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H