Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

51 Anak dan Cucu BUMN Segera Ditutup, Akankah Memicu PHK Massal?

14 April 2020   06:56 Diperbarui: 14 April 2020   07:09 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akhirnya memperlihatkan ketegasannya dalam menata kembali jumlah BUMN beserta anak-cucunya yang dinilai sudah terlalu banyak.

Memang sekitar satu atau dua bulan setelah Erick Thohir  menduduki kursi Menteri BUMN, sudah terbetik berita bahwa Erick akan menutup anak dan cucu BUMN yang keberadaannya tidak memberikan manfaat secara signifikan kepada BUMN induknya atau buat masyarakat banyak.

Namun berita itu hanya terkesan sekadar wacana saja dan publik masih perlu menunggu keseriusan Erick. Gaya demikian sebetulnya tidak mengagetkan. Menteri baru lazim melontarkan gagasan yang mendapat tempat dalam pemberitaan media massa, namun biasanya lemah dalam implementasi.

Untunglah hal itu tidak berlaku buat Erick Thohir. Baru-baru ini tersiar kabar bahwa sebanyak 51 anak dan cucu BUMN akan segera ditutup. Hal ini antara lain ditulis di kompas.com (3/4/2020).

51 perusahaan anak cucu BUMN tersebut berasal dari 3 perusahaan induk, yakni Garuda Indonesia, Pertamina dan Telkom.  Ada 6 perusahaan yang terkena penutupan di grup Garuda Indonesia, 25 di Pertamina dan 20 di Telkom.

Adapun mekanisme penutupan perusahaan di atas, ada yang memakai pola merger, likuidasi, ataupun divestasi. Merger maksudnya digabungkan dengan BUMN atau anak BUMN lain.

Contoh dari masa lalu yang dinilai sebagai merger yang sukses adalah menggabungkan 4 bank BUMN yakni Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, dan Bank Pembangunan Indonesia menjadi Bank Mandiri.  

Sedangkan penutupan dengan cara likuidasi bisa diartikan betul-betul ditutup dengan melego aset yang tersisa. Kemudian pola divestasi, artinya dijual kepada pihak swasta, sehingga yang tadinya anak atau cucu perusahaan BUMN, statusnya berubah menjadi perusahaan swasta.

Dikutip dari harian Kompas, Sabtu (4/4/2020), restrukturisasi yang tengah dilakukan Kementerian BUMN tersebut ditargetkan bisa memangkas hingga 70 persen dari 142 perusahaan BUMN dan 800 anak usaha BUMN yang ada saat ini.

Lewat restrukturisasi, kluster bidang usaha juga akan disusutkan dari 27 kluster bisnis menjadi 14 kluster. Tujuannya adalah untuk mendorong efisiensi dan membantu kondisi arus kas perusahaan yang saat ini juga kelimpungan terdampak Covid-19.

Meskipun pemerintah mengatakan bahwa program perampingan tersebut tidak akan mengorbankan para karyawan dari perusahaan yang ditutup, namun tetap saja memunculkan kekhawatiran, terutama tentu saja bagi karyawan di sejumlah BUMN beserta keluarga yang menjadi tanggungannya.

Di atas telah disinggung bahwa pola penutupan perusahaan terdiri dari merger, likuidasi, dan divestasi. Harus betul-betul diupayakan, bagi yang memakai pola merger, perusahaan yang menerima pelimpahan aset dari perusahaan yang ditutup, harus juga menerima seluruh karyawannya.

Demikian juga untuk pola divestasi, pihak swasta yang akan membeli saham perusahaan yang ditutup, harus berkomitmen untuk mengembangkan bisnis yang telah dirintis sebelumnya dan juga menerima semua karyawannya.

Tinggal lagi yang agak berat bagi perusahaan yang dilikuidasi, apa solusi terbaik? Mungkinkah karyawannya ditarik ke perusahaan induk? Kalau mengacu pada pernyataan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, masih dari berita Kompas di atas, dengan jelas mengatakan bahwa pada prinsipnya tidak boleh ada lay-off (PHK).

"Karyawan perusahaan yang dilikuidasi akan kami tarik ke perusahaan induk (Pertamina), sementara karyawan perusahaan yang didivestasi dipastikan kembali direkrut (perusahaan yang mengakuisisi)," ujar Nicke.

Ya, mungkin saja Pertamina masih kuat menahan dampak Covid-19. Tapi untuk Garuda Indonesia, sebagaimana perusahaan penerbangan lainnya di seluruh dunia, jika diharuskan mempekerjakan karyawan dari anak perusahaannya yang ditutup, justru akan menjadi beban yang sangat berat.

PHK secara massal memang menjadi momok yang menakutkan seiring meluasnya bencana Covid-19. Sudah banyak perusahaan swasta yang melakukannya. 

Kalau BUMN ikut-ikutan melakukan PHK, walaupun istilahnya bisa diganti dengan yang lebih "manis" seperti golden handshake atau program pensiun dini suka rela, tak bisa dibayangkan betapa suramnya kehidupan sebagian masyarakat kita.

Inilah situasi yang boleh disebut sebagai "maju kena mundur kena" bagi BUMN. "Maju" dalam arti tetap menutup banyak perusahaan akan berpotensi mendatangkan PHK massal. Sedangkan "mundur" dalam arti tidak menutup perusahaan, akan menjadi sumber pemborosan bagi BUMN.

Apapun kebijakan yang diambil Kementerian BUMN, perlu didukung sepanjang telah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspek ketenagakerjaan. 

Tentu kita juga berharap, wabah Covid-19 sesegera mungkin menghilang dari tanah air, agar roda perekonomian bisa berputar kembali secara normal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun