Ada berita menarik seputar pengumpulan dana yang akan disumbangkan untuk mendukung upaya pemerintah bersama pihak terkait lainnya dalam rangka mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19.
Pertama, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil berencana mengambil kebijakan untuk memotong gaji aparatur sipil negara (ASN) di daerah yang dipimpinnya. Hal ini langsung menuai reaksi pro-kontra, bahkan di kalangan ASN sendiri (detik.com, 31/3/2020).
Kedua, Ketua Umum Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), Â Zudan Arif Fakrulloh, mengajak 4,2 juta ASN berperan aktif melawan Covid-19 dengan menyisihkan gaji setiap bulannya untuk membantu pemerintah (rmco.id, 30/3/2020).
Zudan menambahkan bahwa bila seluruh ASN menyumbangkan masing-masing sebesar Rp 50.000 per bulan, maka akan terkumpul dana sebesar Rp 210 miliar setiap bulannya. Angka yang relatif besar  dan pasti sangat membantu bagi upaya yang telah ditulis di atas.
Jelas berita itu masih bersifat wacana atau imbauan. Untuk mengambil keputusan yang mengikat, katakanlah mewajibkan seluruh ASN menyumbang dalam jumlah tertentu, perlu pertimbangan yang menyeluruh, jangan sampai melemahkan semangat kerja para abdi negara itu.
Tapi menarik juga mencermati pendapat Zudan di atas. Hanya dengan menyumbang Rp 50.000 per bulan, suatu jumlah yang relatif kecil, akan terkumpul dana yang besar, karena jumlah ASN yang amat banyak.
Masalahnya dengan jumlah pungutan yang sebesar itu, bisa dikatakan tidak adil. Karena bagi ASN yang masih golongan I dan II, jumlah Rp 50.000 tersebut cukup berarti. Jadi, tidak semua orang memandang kecil arti Rp 50.000.Â
Namun bagi yang punya jabatan, Rp 50.000 itu hanya secuil. Ingat, ada unsur non-gaji yang merupakan pendapatan resmi para ASN yang punya jabatan. Bahkan ada yang menerima tunjangan jabatan dan berbagai fasilitas lainnya dalam jumlah jauh di atas gaji bulanannya.
Maka, sekiranya memang ada rencana pemerintah, baik di level pusat maupun daerah, untuk memotong gaji para ASN, sebaiknya memakai sistem progresif.
Misalnya bagi kelompok yang menerima gaji dan pendapatan lainnya per bulan di bawah Rp 5 juta, sebaiknya tidak dilakukan pemotongan, mengingat gaji sejumlah itu masih terbilang pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup satu keluarga.Â
Kelompok yang pendapatannya sebesar Rp 5 juta hingga Rp 10 juta, dipotong 1% dari pendapatan. Berikutnya yang berpendapatan Rp 10 juta hingga Rp 15 juta, dipotong 2%, Rp 15 juta hingga Rp 20 juta dipotong 3%, dan begitu seterusnya. Semakin besar range pendapatannya, semakin besar pula persentase potongannya.
Jadi mereka yang lebih makmur akan menyumbang jauh lebih banyak. Inilah yang dimaksud dengan progresif. Cara seperti ini agaknya lebih kena jika dipandang dari sisi keadilan. Bila main pukul rata setiap ASN dipotong Rp 50.000, meskipun kelihatannya kompak, namun malah membuat kesenjangan makin melebar.
Tidak hanya ASN sebetulnya yang harus disasar. Ada ratusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau mungkin jadi ribuan perusahaan bila dihitung anak cucu perusahaan, yang tentu bila dijumlahkan, semua pegawainya sangatlah banyak . Apalagi bila perusahaan milik daerah (BUMD) ikut dihitung.
Tingkat gaji dan pendapatan lainnya yang diterima pegawai BUMN papan tengah dan papan atas, secara umum lebih tinggi ketimbang yang diterima ASN. Bahkan untuk level anggota direksi dan anggota komisaris, pendapatannya begitu besar, jauh di atas pejabat pemerintah.Â
Ada yang disebut dengan tantiem, yakni bagian laba tahunan perusahaan yang dibagikan kepada direksi dan komisaris BUMN, yang jumlahnya bikin ngiler pejabat pemerintah. Bagi BUMN papan atas, seorang direktur bisa menerima tantiem dalam susunan angka sebelas digit.
Silakan saja dibuat ketentuan, bagi pejabat BUMN berapa persen sebaiknya dipotong gajinya, dengan persentase yang lebih tinggi ketimbang yang diterapkan buat ASN.
Hanya saja perlu berhati-hati dalam melakukan kalkulasi. Soalnya BUMN atau BUMD adalah perusahaan yang tujuan utama eksistensinya adalah untuk menuai keuntungan.
Namun dalam kondisi sekarang ini, dapat dipastikan bahwa target laba yang dibebankan pemerintah ke masing-masing BUMN tidak akan tercapai, mengingat bisnis yang lesu dan belum tahu kapan akan pulih.
Tapi tantiem yang diterima oleh direksi dan komisaris BUMN tahun ini adalah berdasarkan perolehan laba tahun lalu. Makanya cukup wajar bila dilakukan pemotongan. Demikian pula bonus yang diterima para pegawai BUMN, berdasarkan prestasi kerjanya di tahun lalu. Juga boleh-boleh saja dilakukan pemotongan.
Hanya saja perlu diingat, seperti yang disinggung di atas, pada tahun ini diperkirakan laba BUMN akan mengalami penurunan, sehingga tantiem yang diterima direksi dan komisaris serta bonus yang diterima pegawainya di tahun depan, jelas akan turun. Tapi harapan kita pada tahun depan tidak ada lagi pemotongan gaji karena efek badai corona seharusnya telah berlalu.Â
Maka wacana pemotongan gaji sebetulnya ide yang baik dengan memperhatikan sejumlah catatan di atas. Ini bisa disebut sebagai bukti kebersamaan. Ibarat kata pepatah: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Pertanyaannya, perlukan perusahaan swasta ikut-ikutan memotong gaji karyawannya? Kalau ini sifatnya fleksibel. Serahkan saja pada manajemen masing-masing perusahaan.
Toh harus diakui, tanpa harus melakukan pemotongan gaji karyawan, perusahaan swasta milik para konglomerat sudah bergerak cepat dengan memberikan sumbangan pada tim yang dibentuk khusus oleh pemerintah untuk penanganan Covid-19.
Dengan kebersamaan semua pihak dalam melawan Covid-19, kita optimis badai akan segera berlalu dari negara kita tercinta.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H