Bursa Efek Indonesia (BEI) berdarah-darah diterjang virus corona. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sebelum digoyang isu virus tersebut berada pada level di atas 6 ribuan, sekarang berada pada level 4 ribuan.
Padahal pada kondisi normal kenaikan atau penurunan IHSG biasanya hanya sekitar belasan sampai puluhan poin saja setiap harinya. Artinya kondisi sekarang betul-betul dalam keadaan darurat.
Ambil contoh saham Bank Rakyat Indonesia dengan kode saham BBRI. Bank yang perolehan labanya tertinggi di antara perbankan nasional ini, pertengahan Januari lalu sempat meraih rekor harga saham tertinggi sepanjang BBRI melantai di bursa, yakni di kisaran Rp 4.700-an per lembar.
Namun pada perdagangan hari Jumat (13/3/2020) sesi pertama, BBRI terjun bebas hingga sempat menyentuh harga Rp 3.300-an per lembar. Ini sebagai konsekuensi aksi jual para investor asing yang selama ini menjadi penggerak harga saham di BEI.
Apa yang dialami oleh BBRI juga diderita oleh hampir semua saham lain. Demikian besarnya penurunan itu, sampai-sampai pihak pengelola BEI menghentikan perdagangan saham untuk sementara, sebelum dibuka kembali pada sesi berikutnya.
Syukurlah pada sesi sore, IHSG mulai mengalami sedikit kenaikan. Menurut informasi dari salah satu staf perusahaan sekuritas, hal ini antara lain karena aksi buyback atau pembelian kembali saham oleh manajemen perusahaan BUMN.
Selain itu, pengumuman pemerintah antara lain dari Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Jumat siang tersebut tentang paket stimulus dalam rangka menangkal dampak ekonomi dari virus corona, diperkirakan ikut berpengaruh positif.
Kembali ke contoh BBRI, setelah paginya menyentuh harga di kisaran Rp 3.300-an, pada sore hari naik menjadi Rp 3.720 sesuai harga penutupan.Â
Bahwa BRI telah mulai mengeksekusi pembelian kembali sahamnya terkonfirmasi dari berita yang dilansir dari cnbcindonesia.com (13/3/2020).Â
Disebutkan bahwa berdasarkan surat dari BRI ke OJK yang dipublikasikan di situs BEI, BRI melakukan buyback secara bertahap mulai 13 Maret hingga 12 Juni 2020. Untuk itu BRI telah menyiapkan dana hingga maksimal Rp 3 triliun.
Tidak hanya BRI, sejumlah BUMN lain yang tampaknya telah dikoordinir oleh Kementerian BUMN, juga telah memutuskan untuk membeli kembali saham yang dulu diterbitkan dan dijualnya di BEI.
Tentu masing-masing BUMN telah memperhitungkan kemampuan likuiditasnya, seberapa kuat mampu memborong sahamnya sendiri. Bila harganya sudah sedemikian murah, dan tidak lagi mencerminkan kinerja perusahaan yang masih bagus, selayaknya memang dibeli kembali.
Membiarkan harga saham terpuruk sedalam-dalamnya justru membuat pasar semakin yakin bahwa perusahaan tersebut lagi tidak sehat dan tidak punya uang untuk membeli kembali.
Persepsi publik ini yang harus dilawan dengan menunjukkan perusahaan mampu membeli kembali. Yang jelas pemerintah tidak akan membantu memberikan dana. Makanya harus memakai dana masing-masing perusahaan yang berencana untuk buyback.
Toh nanti ketika harganya naik lagi, perusahaan bisa menjualnya dan menuai keuntungan. Atau kalau pun tidak dijual kembali, saham tersebut bisa menjadi bonus bagi para pekerja di perusahaan tersebut.Â
Selama ini di masing-masing BUMN, selain menerima gaji, para pekerja menerima pula bonus tahunan berdasarkan kinerja individu setiap pekerja, yang besarnya bervariasi.Â
Pekerja yang produktif bisa memperoleh bonus sebesar 8 kali gaji bulanan, dan biasanya diberikan secara tunai. Namun bila perusahaan punya saham hasil buyback yang dalam pembukuan disebut dengan treasury stock, maka bonus untuk pekerja, sebagian bisa berupa saham.
Itulah yang disebut dengan Management Stock Ownership Program (MSOP) dan Employee Stock Ownership Program (ESOP). Dengan memiliki saham, pekerja merasa ikut bertanggung jawab dengan kinerja perusahaan agar harga sahamnya juga meningkat.
Pekerja yang sekaligus sebagai pemilik, tentu berbeda semangat kerjanya dengan sekadar pekerja semata. Sebagai pemilik, mereka akan mendapat dividen yang merupakan pembagian laba bagi pemegang saham.
Hanya saja dengan kondisi yang tidak normal sekarang, pertanyaannya adalah seberapa lama masalah virus corona ini akan menghantui dunia usaha yang berimbas ke harga saham di BEI.
Bila berlarut-larut, katakanlah lebih dari 3 bulan, maka program pembelian kembali saham oleh BUMN atau perusahaan lain, tidak akan kuat menahan laju kejatuhan harga saham.
Jelas yang harus diprioritaskan pemerintah dan didukung oleh masyarakat terlebih dahulu adalah upaya agar penyebaran virus corona bisa dikendalikan, agar dunia usaha kembali berputar secara normal.
Bila keberhasilan pencegahan penyebaran virus corona telah menunjukkan hasil yang memuaskan, dengan sendirinya investor akan masuk lagi. Kalau sudah seperti itu, tanpa buyback pun, harga saham kembali naik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H