Tentang Pancasila, saya kira kita semua sepakat bahwa yang diperlukan bukan bagaimana agar warga Indonesia mampu menghafalkan semua sila dari Pancasila. Namun yang diperlukan adalah bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Memang tentu saja idealnya adalah bila kita hafal, lalu menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Tapi orang yang tak hafal namun bisa mengaplikasikannya, jelas lebih hebat ketimbang para pejabat yang lancar menceramahkan Pancasila tapi berperilaku korup.
Patut dicatat bahwa seseorang bisa jadi menerapkan Pancasila tanpa disadarinya, karena hal itu sudah muncul dengan sendirinya sebagai kebiasaan yang diajarkan oleh orang tuanya. Pastilah orang seperti itu akan keseleo lidahnya bila diajak berdiskusi tentang Pancasila.
Artinya, untuk menerapkan Pancasila tidak harus dengan menghafalkannya terlebih dahulu. Soalnya Pancasila itu sudah hidup berurat berakar di tengah masyarakat kita sejak ratusan tahun lalu.
Hanya penamaannya dan disusun ke dalam lima sila barulah disepakati oleh para tokoh pergerakan kemerdekaan saat pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedang dipersiapkan.
Ini agak mirip bagi umat Islam yang hafal rukun iman, rukun Islam, bahkan banyak yang hafal petikan ayat-ayat dari kitab suci Al-Qur'an, yang belum tentu perbuatan sehari-harinya telah sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Justru di beberapa negara lain yang warga muslimnya minoritas seperti di negara-negara Skandinavia atau di Selandia Baru, lebih terasa nilai-nilai Islamnya, meskipun mereka sangat mungkin tidak memahami ajaran Islam.
Bahkan seperti dilansir dari situs redaksiindonesia.com (25/06/19), berdasarkan hasil penelitian dari Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari (keduanya dari George Washington University), Selandia Baru dinobatkan sebagai negara paling Islami. Ironisnya, Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, hanya berada di peringkat 140.
Penelitian di atas memakai Islamicity Index sebagai indikator. Hal ini antara lain memperhitungkan tata kelola pemerintahan, hubungan antar masyarakat, kebersihan, kenyamanan, dan banyak hal lagi yang bersumber dari Al-Qur'an.
Nah, kembali ke Pancasila, tampaknya hal itu telah disadari betul  oleh para pemimpin kita. Pada era Orde Baru dilakukan gerakan massal berupa penataran P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, dan kemudian membentuk BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Setelah BP7 tidak ada lagi, pada era Presiden Jokowi dibentuk UKPPIP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila) yang dimensinya lebih luas dan tidak terfokus pada penataran.
Tapi pada intinya baik era dulu maupun era sekarang, permasalahannya sama, yakni bagaimana menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bangsa. Bukan sekadar dilafazkan setiap upacara bendera di sekolah-sekolah atau di setiap acara kenegaraan.
Maka sewaktu diadakan acara malam final pemilihan Puteri Indonesia 2020 baru-baru ini, masyarakat yang menonton secara langsung dari salah satu stasiun televisi dihebohkan oleh peserta asal Sumatera Barat yang sudah maju ke babak 6 besar, namun tidak bisa mengucapkan lima sila dalam Pancasila secara benar.
Berbagai komentar pun bermunculan di media sosial, terutama bernada kritik. Meskipun juga ada yang membela sang finalis Puteri Indonesia itu dengan memahami bahwa ia demam panggung.
Toh kalau pun ia tidak demam panggung, tapi betul-betul tidak hafal karena sudah lama tidak ikut upacara bendera, rasanya bukan suatu kesalahan fatal.Â
Tentu maksudnya sepanjang ia telah memahami (bukan menghafalkan) apa makna yang terkandung dari setiap sila dan mengamalkannya, baik di rumah maupun dalam bersosialisasi dengan orang lain.
Lihatlah kehidupan petani di desa. Saat mengalun azan subuh, mereka menunaikan salat berjamaah di langgar. Setelah itu mereka saling bersilaturahmi.
Bila ada tetangga yang tak muncul di langgar dan mendapat informasi kalau ia lagi sakit, jama'ah lain akan membesuk ke rumah. Walaupun buah tangannya sekadar setandan pisang, tapi menunjukkan rasa kekeluargaan yang tinggi.
Di hari-hari tertentu, segenap warga desa yang laki-laki bergotongroyong membersihkan jalan atau selokan. Ibu-ibunya menyiapkan makanan kecil dan minuman. Wah, betapa kompaknya.
Bila ada persoalan antar warga, semua bisa dimusyawarahkan dengan dipimpin oleh tetua adat atau tokoh masyarakat setempat. Jika desa mereka dikunjungi oleh orang luar, akan ditegur dengan ramah dan siap membantu apabila diperlukan, tanpa memandang si tamu beragama apa atau bersuku apa.
Bukankah itu merupakan beberapa contoh dari aplikasi Pancasila? Inilah yang justru harus diteladani, bukan sekadar kelancaran berbicara tentang Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H