Masalahnya faktor usia memang tidak dapat ditipu. Adakalanya saya langsung kagok bertemu teman yang seharusnya saya ingat namanya, namun tiba-tiba saja saya bingung, kok bisa lupa?
Sebagai contoh, terakhir acara resepsi yang saya hadiri berlangsung di awal Maret 2020 lalu. Ketika itu, Kristanto, teman satu angkatan saya saat diterima bekerja, yang tentu saja ia juga sudah pensiun, terlihat melambaikan tangan ke arah saya yang lagi menikmati kudapan siomay, makanan kesukaan saya.
Tapi rasa malu saya agak terbantu, karena Kris, demikian panggilan teman saya itu, mungkin juga lupa dengan nama saya. Buktinya selama terlibat bertukar cerita tentang aktivitas sehari-hari, ia tak sekalipun menyebut nama saya. Sehingga saya pun juga, meskipun tetap penasaran dalam hati kok tidak ingat namanya, tidak sekalipun pula menyebut namanya. Ya iyalah, namanya juga lupa.Â
Padahal, standar saya dalam berkomunikasi dengan teman, selalu menyebutkan namanya. Tidak nyaman bagi saya kalau hanya menyebut kata panggilan sekadar "pak" atau "mas" saja, selalu disambung dengan nama seseorang.
Setelah lama memeras otak dan tetap masih lupa, akhirnya saya berbisik bertanya pada seorang teman lama yang lain, yang dulu pernah satu divisi dengan Kris. Barulah saya tahu lagi namanya, tapi kami sudah berdiri berjauhan, tidak mungkin untuk saling menegur lagi.
Kris bukan satu-satunya yang saya lupa. Beberapa teman yang masih berusia muda, lebih tepatnya mantan anak buah, karena saya pernah menjadi atasan mereka, juga beberapa tidak mampu saya ingat namanya. Ada juga yang saya dengan meyakinkan menyebut satu nama, ternyata keliru, bukan itu namanya. Untuk kekeliruan seperti itu, saya jujur saja mengakui kesalahan dan segera minta maaf.
Penderitaan saya soal lupa dengan nama seseorang belum berkahir. Selesai acara resepsi, saat berjalan di area parkir kendaraan, tiba-tiba dari belakang ada mobil yang lewat di depan saya. Si pengemudinya berhenti, membuka kaca dan menyapa ramah; "Pak Irwan sudah mau pulang ya?" tanyanya.
Mendapat "serangan  mendadak" begitu, membuat saya gelagapan. Tapi saya tutupi sapaannya dengan tak kalah ramah, namun tanpa menyebut namanya. Soalnya nama yang terlintas di benak saya adalah Jajang.  Masalahnya saya kurang yakin, mungkin  bukan Jajang, meskipun seingat saya namanya mengandung huruf "j". Baru 5 menit setelah itu saya ingat namanya, Fajar. Tapi ia sudah tidak di depan mata saya lagi
Kembali ke soal acara resepsi pernikahan, menurut saya memang bijak bila yang punya hajat menunda, bahkan bisa pula membatalkan, acara resepsi. Namun demikian, seharusnya tidak ada penundaan bagi niat baik sepasang calon suami istri untuk melaksanakan akad nikah.
Bagi saya sendiri, apa boleh buat, kerinduan saya untuk bertemu sahabat lama dalam acara resepsi pernikahan, harus saya tahan dulu. Kalaupun undangan resepsi yang saya terima tidak ditunda, pasti saya akan dag dig dug juga untuk menghadirinya. Pandemi Covid-19 masih menghantui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H