Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Harga Masker Naik Gila-gilaan, Menkes Salahkan Masyarakat

19 Februari 2020   07:19 Diperbarui: 19 Februari 2020   07:24 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Kompas.com/Garry Lotulung

Ketakutan masyarakat terhadap wabah virus corona merupakan hal yang sangat wajar. Meskipun sampai saat ini menurut pemerintah, virus berbahaya itu belum masuk ke negara kita.

Memang, menurut berita terbaru sudah ada 3 orang WNI yang positif terpapar virus corona. Tapi mereka terkena saat bertugas sebagai kru di kapal pesiar yang berlayar di luar negeri, dan sekarang dalam perawatan di sebuah rumah sakit di Jepang.

Salah satu cara yang banyak dilakukan masyarakat kita dalam rangka mencegah masuknya virus adalah dengan memakai masker penutup mulut dan hidung, terutama saat berada di luar rumah.

Sebetulnya tanpa merebaknya isu virus pun, di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di tanah air, sudah biasa terlihat orang memakai masker saat berada di jalan raya, baik yang naik motor, pejalan kaki, atau penumpang kendaraan umum.

Hal tersebut karena tingkat polusi di kota-kota di atas sudah berada pada level yang membahayakan. Apalagi dengan adanya ketakutan terhadap virus corona, tak ayal lagi permintaan terhadap masker melonjak tajam.

Hal itulah yang tentu saja berimbas pada kenaikan harga masker yang tergolong gila-gilaan. Stok habis di pasaran sehingga menimbulkan spekulasi ada oknum yang menimbun masker dengan tujuan untuk mengerek harga dan manangguk keuntungan besar di tengah ketakutan masyarakat.

Kenaikan harga setiap jenis masker rata-rata sekitar 10 kali lipat ketimbang sebelumnya. Satu kotak masker berisi 50 lembar dijual Rp 275.000. Padahal sebelumnya masih Rp 30.000.

Berita tentang hal di atas tidak hanya disorot media dalam negeri, tapi juga media asing, antara lain dari koran Straits Time. Menurut media yang terbit di Singapura ini, terkesan tidak klop antara harga masker yang sangat tinggi dengan laporan tidak ada virus corona yang masuk Indonesia.

Bahkan ada masker dari jenis tertentu yang disebut dengan N95, harga satu kotaknya di Pasar Pramuka Jakarta, mencapai Rp 1,5 juta. Lebih tinggi dari harga 1 gram emas yang saat ini sekitar Rp 800.000.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto merasa tidak heran dengan melambungnya harga masker di Indonesia (Kompas.com, 15/2/2020). Terawan justru menyalahkan orang-orang yang membeli masker.

"Salahmu sendiri, kok beli," kata Terawan (Sabtu, 15/2/2020) di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta setelah mendarat bersama dengan WNI yang dilepas dari Natuna setelah menjalani observasi selama dua minggu. 

Komentar Terawan yang cukup menohok masyarakat itu disiarkan beberapa stasiun televisi yang meliput langsung acara pelepasan WNI di Natuna dan kedatangannya di Bandara Halim.

Masalahnya, menurut Terawan, orang yang sehat tidak perlu memakai masker untuk mencegah masuknya virus ke tubuh. Justru yang harus memakai masker adalah mereka yang sakit agar tidak menularkan ke lingkungan sekitar.

Tapi memakai analogi dengan dunia kampus, di mana bila dari 100 orang mahasiswa, 80 orang tidak lulus, maka yang bodoh bukan mahasiswanya, melainkan dosennya yang tidak mampu mengajar dengan baik.

Bila orang sehat sebaiknya tidak perlu menggunakan masker, bagaimana menjelaskannya pada masyarakat perkotaan yang telah rutin menggunakannya jauh sebelum munculnya isu corona. 

Apakah tindakan yang seperti itu juga merupakan kemubaziran? Bukankah udara kota Jakarta, apalagi saat jalan dipenuhi kendaraan dan banyak proyek galian, membuat debu menyelimuti area tertentu?

Jadi tampaknya memang ada yang kurang menyambung dalam komunikasi antara pihak pemerintah dengan masyarakat. Maka jangan salahkan masyarakat kalau mempunyai logika sendiri.

Menkes cenderung menyerahkan harga masker kepada pasar. Hukum pasar sudah jelas, bila permintaan meningkat sedangkan penawaran terbatas, harga pasti naik.

Mengingat yang terjadi sekarang merupakan pengecualian, dalam arti jarang terjadi, sebaiknya pemerintah bisa turun tangan agar harga kembali normal. Kalau pun naik, tidak sampai berlipat-lipat seperti yang terlanjur terjadi.

Mungkin aparat kepolisian bisa melakukan inspeksi, mencari ke gudang-gudang penyimpanan barang, untuk memastikan apakah memang ada penimbunan barang? Jika ada, pelakunya harus diproses secara hukum.

Pemerintah bisa pula menunjuk BUMN tertentu yang bergerak di bidang penjualan alat kesehatan, untuk melakukan pembelian dalam jumlah besar. Bila persediaan barang di pasar mencukupi, diharapkan harga akan turun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun