Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Diferensiasi pada Bisnis Kuliner, Tak Cukup Sekadar Tempat yang Unik

12 Maret 2020   00:07 Diperbarui: 16 Maret 2020   04:13 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selalu menarik untuk mengamati bisnis kuliner, seperti rumah makan, restoran, kafe, dan sebagainya. Soalnya inilah bisnis yang tidak ada matinya.

Tentu saja ada usaha kuliner yang gagal meraih pelanggan yang cukup sehingga terpaksa menghentikan usahanya. Tapi secara umum untuk rata-rata industri di bidang kuliner, kecenderungannya selalu tumbuh, karena produknya menjadi kebutuhan rutin dari semua orang.

Apalagi sejak beberapa tahun terakhir ini, budaya makan di luar rumah bersama keluarga atau teman semakin marak, yang diikuti dengan semakin seringnya postingan mereka yang lagi menikmati kuliner beredar di media sosial.

Walaupun secara umum bisnis makanan pasti dicari orang, kalau kita bicara secara individu, saking banyaknya restoran, khususnya di kota besar, membuat persaingan sesama pelaku usaha kuliner, sungguh ketat.

Maka bagi pemain baru, mau tak mau harus punya konsep yang unik sebagai diferensiasi atau faktor pembeda. Tentu maksudnya untuk menimbulkan rasa penasaran bagi konsumen yang disasar sehingga ramai dikunjungi.

Pemain lama pun perlu juga melakukan pembaharuan dari sisi tampilan restorannya maupun dari sisi menu makanan. Jika begitu-begitu saja, akan ditinggalkan pelanggan dan hilang pula dari media sosial.

Dok pribadi
Dok pribadi
Terlepas dari jenis makanan yang disediakan, sekarang semakin banyak tempat makan yang dirancang tidak seperti biasanya. Ada tempat makan yang berkonsep peti kemas di mana ruangannya disulap dari bekas peti kemas.

Ada yang dibangun khusus mirip kapal layar, ada yang berkonsep pesawat terbang, bus, truk, kebun teh, dangau di tengah sawah dan sebagainya. 

Ada pula restoran yang digabung dengan perpustakaan, karena menyediakan banyak buku yang bebas dibaca pengunjung. Ada yang digabung dengan bioskop karena menyediakan pemutaran film dengan layar lebar.

Contoh aktivitas lain yang disediakan sebagai fasilitas sebuah tempat makan adalah arena bermain untuk anak-anak. Atau yang dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang.

Tak sedikit pula cafe yang dihiasi koleksi benda seni, lukisan, boneka, atau atribut lainnya dengan tema-tema tertentu. Misalnya bertema suasana era kolonial, bertema tradisional Jawa, atau bertema robot, dan sebagainya.

Salah satu yang akan dikupas di sini sebagai contoh diferensiasi yang dimaksud adalah Warung Misbar yang ada di Bandung. Misbar atau "gerimis bubar" adalah bioskop kelas rakyat yang semarak di era 1970-an.

Di warung yang lumayan besar itu, film-film lama yg telah sering ditayangkan ulang di stasiun televisi nasional seperti film-film komedi yang dibintangi  Warkop DKI, setia menemani pengunjung yang lagi bersantap. 

Sayangnya mungkin karena filmnya sudah mulai buram atau karena sudah pernah menontonnya, kebanyakan pengunjung tidak peduli dengan film yang diputar.

Mereka lebih fokus menikmati makanannya di warung yang menyediakan beraneka menu
tradisional yang lebih dekat ke cita rasa masakan Jawa ini. 

Pengunjung mengambil makanan secara prasmanan, kemudian membayar di kasir, lalu makan di meja yang dipilihnya. Bila memang ingin menonton film, bisa memilih duduk di bangku kayu yang dibuat melingkar setengah lingkaran di hadapan layar. Jangan khawatir, kalau gerimis gak bakal bubar, karena ada atapnya.

Kalau soal harga relatif standar untuk tempat makan kelas menengah. Dengan uang sekitar Rp 40.000 telah memperoleh nasi, lauk, sayur, dan minuman teh.

Jika saja pengelolanya punya stok film yang tidak terlalu uzur, bisa mendapatkan film yang diproduksi masih belasan tahun lalu, syukur-syukur film yang pernah mendapat penghargaan di festival film, mungkin akan membuat orang datang karena memang ingin menonton dengan makanan sebagai aktivitas pendamping.

Tapi bagi yang belum pernah ke sana, tentu sekaligus bisa bernostalgia bila dulu punya pengalaman menonton di bioskop misbar. Desainnya dari depan cukup meyakinkan dengan adanya ruangan mirip loket penjualan karcis dan lorong antrean masuk.

Berkonsep pesawat terbang (kompas.com)
Berkonsep pesawat terbang (kompas.com)
Poster beberapa film juga terpajang di dinding bagian atas yang terlihat jelas dari jalan raya. Persis gaya bioskop era jadul sebelum lahir bioskop di mal-mal seperti sekarang ini.

Namun bagi orang Bandung sendiri yang sudah pernah ke sana, agaknya daya tarik Warung Misbar ini sudah tidak begitu kuat. 

Jadi konsep diferensiasi untuk bisnis kuliner sebaiknya tidak dari sisi tampilan tempatnya saja, bila ingin mempunyai pelanggan tetap atau setidaknya punya pelanggan yang ingin datang lagi. 

Akhirnya kembali ke hakikat kuliner itu sendiri, kekuatan cita rasa masakan yang dihidangkan juga harus lebih enak ketimbang yang dijual di warung biasa.

Jika makanannya istimewa, di kaki lima pun dicari orang. Tapi bukan itu yang menjadi bahasan tulisan ini yang menekankan suasana tempat makan yang unik, sehingga orang datang tidak sekadar untuk makan. 

Keunikan desain tempatnya itulah yang menjadi objek berfoto yang akan diunggah pengunjung di media sosial. Hanya jangan sampai karena mengejar keunikan tempat, abai dengan cita rasa masakan yang disediakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun