Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pajak Transaksi Online Boleh Saja, asal...

20 Februari 2020   00:07 Diperbarui: 20 Februari 2020   09:25 2061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak terhindarkan lagi, perkembangan zaman telah membawa perubahan besar dalam mekanisme perdagangan. 

Cara bertransaksi konvensional di mana konsumen mendatangi langsung tempat penjual produk, telah banyak ditinggalkan, berganti dengan transaksi online (agar gampang, selanjutnya ditulis transol).

Dengan menggunakan aplikasi tertentu atau media sosial tertentu yang terhubung melalui internet, seseorang bisa saja menawarkan barang atau jasa. 

Kemudian calon konsumen yang tertarik untuk membeli, tinggal mengklik atau mengetik di telpon pintar, kemudian duduk manis menunggu pesanannya datang.

Teknis pembayarannya pun demikian gampang, bisa dengan memotong langsung dompet digital, atau dengan memanfaatkan fitur yang ada pada internet banking dan berbagai cara pembayaran elektronik lainnya.

Mereka yang berusia di bawah 40 tahun sangat familiar dengan transol. Adapun mereka yang lebih tua, karena telah terbiasa dengan transaksi konvensional, masih banyak yang setia dengan cara lama. Mereka takut salah pencet bila menggunakan transol yang bisa berakibat fatal.

Tapi mengingat demikian banyaknya jumlah penduduk berusia muda di negara kita, dapat dibayangkan betapa besarnya nilai transol tersebut secara nasional setiap tahunnya. Ini betul-betul bisnis besar.

Memang bila dilihat per individu, nilai pembeliannya relatif kecil setiap kali bertransaksi. Barang yang dibeli pun yang gampang dikemas dalam kotak. 

Namun karena itu dilakukan berulang-ulang oleh puluhan juta orang, ini yang mendorong menjamurnya usaha rintisan yang menjadi mediator transol. 

Sangat wajar bila pemerintah yang lagi gencar mencari sumber penerimaan anggaran agar bisa memenuhi kebutuhan pengeluaran negara yang makin membengkak, mulai menjajaki kemungkinan memungut pajak atas transol.

Apa boleh buat, konsumen harus bersiap-siap untuk merogoh kocek lebih dalam, eh karena ini berupa transol, tentu maksudnya siap-siap akunnya terpotong atau didebet lebih banyak, karena ada alokasi untuk pajak.

Bila dipikir dengan hati lapang, rasanya masyarakat akan bisa memahami pajak transol, meskipun awalnya pasti keberatan, mungkin ada kelompok yang akan melakukan demo.

Hanya saja, jika boleh memberikan masukan, pajak transol boleh-boleh saja asal tidak terkena pajak berganda. Misalnya selama ini kalau kita makan di restoran, biasanya sudah kena pajak. 

Nah jangan karena makanan tersebut dipesan secara online,  lalu kena pajak lagi. Demikian pula bila kita membeli tiket pesawat lewat aplikasi, pasti ada unsur pajaknya. Pajak berganda sungguh tidak adil.

Selain soal pajak berganda, diharapkan transol juga tidak diterapkan pada transaksi konvensional yang selama ini tidak terkena pajak.  Bila model konvensional bebas pajak, secara online pun harusnya juga begitu. 

Sejak moda transportasi ojek motor berkembang, yang awalnya dengan sistem tawar menawar, terlepas dari legal tidaknya, belum pernah dipajaki pemerintah.

Nah, tentu juga wajar bila mereka yang memesan kendaraan melalui aplikasi juga tidak ditambahi dengan pungutan pajak. Toh online hanya sekedar mempermudah cara bertransaksi saja.

Mungkin saja selama ini ada jenis transaksi konvensional yang seharusnya terkena pajak. Tapi karena tidak diawasi, hal itu tidak dilakukan. 

Atau mungkin juga telah dilakukan, tapi dalam kuitansi atau bon pembayaran tidak dirinci berapa jumlahnya harga barang dan berapa yang untuk pajak. Jadi unsur pajaknya tersamar. 

Pola tersamar itu artinya bukan pajak atas transaksi, tapi nantinya menjadi pajak penghasilan bagi si penjual, yang dihitung dengan rumus persentase tertentu dari omzet penjualan atau dari laba yang diperoleh.

Dalam kaitannya dengan transol, akan lebih baik menerapkan pajak dengan pola tersamar, sehingga tidak secara langsung menjadi tambahan biaya bagi konsumen. Tapi dibebankan pada pajak penghasilan yang diperoleh pelaku usahanya.

Artinya, setiap pelaku usaha yang menjual barang atau jasa secara online, diwajibkan punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 

Lalu mereka melaporkan omzetnya setiap bulan dan menyetor pajaknya sekian persen dari omzet atau dari sekian persen dari laba usaha, tergantung ketentuan mana yang diterapkan.

Berikutnya sebagaimana mekanisme Pajak Penghasilan (PPh) yang sudah berjalan selama ini, selambat-lamabatnya setiap tanggal 31 Maret, pelaku usaha individu, melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan) untuk tahun sebelumnya ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.

Dalam pelaporan SPT itu sekaligus juga menghitung kekurangan atau kelebihan pembayaran pajak yang telah disetor setiap bulan sepanjang tahun sebelumnya, untuk dituntaskan sebagai perhitungan final.

Pemerintah perlu berhitung secara cermat sebelum mengeluarkan aturan pajak transol, agar kegairahaan perekonomian dari transol tidak langsung anjlok. 

Kurang tepat pula misalnya pemerintah menyamakan para pengemudi online sebagai karyawan yang terkena pajak atas gaji. Atau menyamakan dengan orang yang menerima honor yang juga ada pajaknya.

Kalau itu terjadi bisa jadi para pengemudi ojol akan melakukan demo besar-besaran. Tapi kalau para penulis di Kompasiana menerima reward yang dipotong dengan pajak, mungkin tidak akan melakukan demo atau mogok menulis. 

Toh penulis opini di media cetak selama ini memang honornya dipotong pajak, meskipun ada media yang menerapkan metode gross up. Maksudnya bila honornya Rp 400.000, maka di kuitansi tertulis jumlah di atas itu, lalu dipotong pajak, sehingga honor bersih menjadi Rp 400.000.

Sebetulnya yang memperoleh keuntungan besar dalam bisnis transol adalah pihak penyedia aplikasi, katakanlah  seperti Tokopedia, Bukalapak, sekadar untuk menyebut beberapa nama perusahaan rintisan dalam negeri yang sekarang telah berskala unicorn. Artinya nilai perusahaannya sudah triliunan rupiah.

Atau bahkan perusahaan asing yang skalanya sudah di atas unicorn yang dipakai di seluruh dunia seperti Facebook, di mana tak sedikit transaksi perdagangan antar penjual dan pembeli sesama warga Indonesia difasilitasinya.

Kenapa pemerintah tidak fokus mengejar pajak pada perusahaan penyedia aplikasi yang telah menggurita itu? Memang tidak gampang, khususnya bagi yang kantor pusatnya berada di luar negeri. Tapi itulah tantangannya yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun