Ketika saya mengalami masa remaja di sekitar akhir dekade 1970-an sampai dekade berikutnya, belum ada perayaan Hari Valentine (HV) atau hari kasih sayang setiap tanggal 14 Februari. Baru di akhir dekade 1980-an berita tentang HV ini mulai menghiasi media massa nasional, tapi itupun belum begitu marak.
Namun sejak belasan tahun terakhir ini, hari kasih sayang tersebut seolah wajib dirayakan oleh mereka yang lagi berpacaran atau yang sudah menikah dengan usia pernikahan yang belum terlalu lama.
Semaraknya perayaan HV tersebut karena memang distimulasi oleh dunia bisnis dengan berbagai promosi yang menggiurkan. Produk yang laris manis menyambut momen HV adalah bunga, coklat, cupcake, parsel, boneka, cincin, kalung, dan berbagai asesoris lainnya.
Khawatir dengan berbagai dampak negatif perayaan HV, sering kita dengar nasehat dari ulama atau tokoh masyarakat yang mengimbau agar anak muda di negara kita tidak usah ikut-ikutan merayakannya seperti di negara-negara barat. Alasannya di samping HV bukan budaya kita, juga tidak sesuai dengan ajaran agama.
Tulisan saya kali ini sebetulnya tidak berkaitan langsung dengan HV, meskipun saya menulisnya di tanggal 14 Februari. Karena menurut saya kasih sayang itu, khususnya antar pasangan suami istri (pasutri), sebaiknya berlangsung sepanjang masa, sampai ajal memisahkan.
Dari pengalaman dan pengamatan saya, kebutuhan akan kasih sayang sebetulnya berlaku untuk semua golongan usia, bukan hanya para remaja atau anak muda.
Hanya saja memang para remaja dan anak mudalah yang dalam mengungkapkan kasih sayangnya lebih ekspresif, karena getar-getar asmaranya masih berfungsi dengan baik.
Sedangkan bagi pasutri yang telah melewati masa perkawinan perak, kasih sayangnya berlangsung secara tersirat, tidak lagi diungkapkan secara eksplisit. Perkawinan perak yang dimaksudkan di sini adalah usia pernikahan yang sudah melewati 25 tahun.
Saya sendiri sebagai orang yang telah melewati masa perkawinan perak sering merasa sungkan kalau berbicara atau menulis tentang asmara, takut dibilang genit.
Namun demikian saya tetap kebablasan, telah beberapa kali menulis topik yang berkaitan dengan asmara di Kompasiana.
Apakah pasutri yang usianya sudah kepala lima atau lebih tua lagi masih punya getar asmara? Masihkah berdebar-debar jantungnya ketika baru saja menginjakkan kaki di rumah selepas seharian bekerja di kantor, dan tak sabar mau bertemu istri tercinta?Â
Masalahnya apakah juga sang istri memang menyambut kedatangan suami dengan senyum merekah, sapaan sayang, dan bahasa tubuh yang menunjukkan kemesraan? Apakah karena setiap hari bertemu selama puluhan tahun, rasa rindu itu tidak lagi bersemayam di dada?
Dari cerita saling bertukar pengalaman dengan teman-teman se usia, baik bapak-bapak maupun ibu-ibu, rata-rata mereka mengatakan bahwa ungkapan kasih sayang yang mereka lakukan dengan pasangannya sudah bersifat biasa-biasa saja.
Namun semuanya mengaku bersyukur dalam arti punya pasangan yang setia, punya anak-anak yang juga baik-baik saja, punya kehidupan sehari-hari yang tenang tanpa konflik rumah tangga yang tajam.
Hanya saja semua berlangsung secara datar, hanya menjalani rutinitas. Bukannya tidak ada lagi rasa sayang, tapi lebih seperti sayang ke saudara saja, kata seorang teman saya.Â
Ketika pasangan ada di sisi kita, rasanya biasa saja, tidak ada kata-kata mesra yang terucapkan. Namun begitu pasangan itu terpisah, karena salah satunya pergi ke tempat lain selama beberapa hari, baru terasa bahwa mereka saling membutuhkan.
Tapi bukan berarti stok kata-kata mesra sudah hilang dalam kamus pasutri yang telah melewati perkawinan perak. Pernah dengar anekdot seorang kakek yang selalu memanggil istrinya yang tentu sudah jadi nenek, dengan "sayangku", "honey", atau panggilan lain yang senada? Ternyata bukan karena mesra tapi karena si kakek sudah lupa nama istrinya, hehe.Â
Ceritanya jadi lain, bila lagi kesengsem dengan orang ketiga. Ada teman kantor saya yang memanggil "sayang" pada karyawati tertentu yang memang mendapat perhatian khusus dari si teman. Tidak tahu apakah mereka berpacaran atau sekadar saling memanggil sayang saja.Â
Mungkin teman itu lagi mengalami puber kedua, atau siapa tahu malah sudah puber ketiga. Ini suatu bukti bahwa orang tua masih punya getar-getar asmara. Namun kenapa kalau buat istri atau suami sendiri, getaran asmaranya lemah?
Saya mengira semua pasutri sejak awal mengikat hubungan dalam jalinan pernikahan, telah mengetahui bahwa mempertahankan kemesraan sampai kapanpun, menjadi modal yang penting untuk membangun rumah tangga yang harmonis.
Tapi begitulah, sangat hangat dalam beberapa tahun pertama, kemudian berangsur-angsur semakin dingin. Maksudnya dingin bukan dalam arti ada perang dingin, namun terjebak di rutinitas kesibukan sehari-hari.
Akhirnya pasangan kita pun sudah tidak terlihat istimewa lagi, bahkan ada yang lupa, dulu kenapa mereka bisa saling jatuh cinta. Namun jangan heran banyak pasutri yang berbakat bermain seni peran.
Pasangan yang seperti ini terlihat kompak dan mesra di depan publik, umpamanya saat hadir di resepsi pernikahan, di acara ulang tahun perusahaan tempat sang suami bekerja, atau event lainnya. Setelah itu di rumah kembali hambar.
Maka bila semua terlihat baik-baik saja tanpa ada ribut-ribut, jangan sebut sebagai tidak ada apa-apa. Siapa tahu itu pertanda hilangnya getar asmara.
Jika ada pasutri yang sependapat dengan pernyataan di atas dan merasa lagi mengalami hal yang sama, jangan tunda lagi, ayo temukan kembali getar asmara yang hilang itu.Â
Tentu hal ini menuntut keterbukaan dari kedua belah pihak, suami dan istri. Sang suami harus jujur mengungkapan apa yang harus dilakukan istrinya.
Begitu pula sang istri, jangan malu-malu menyampaikan apa yang diinginkannya dari si suami, demi menemukan kembali getar asmara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H