Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masih Ada Dosen yang Tidak Meluluskan Mahasiswa Kalau Tidak Beli Bukunya?

17 Februari 2020   00:07 Diperbarui: 17 Februari 2020   00:10 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah mendengar dosen diktator? Jangan salah sangka, maksudnya bukan otoriter seperti gaya para penguasa di zaman dulu. Diktator adalah istilah untuk dosen yang menjual diktat dari mata kuliah yang diajarkannya.

Mungkin mahasiswa yang masuk kuliah pada dua dekade terakhir ini tidak lagi mengenal apa itu diktat. Diktat semacam buku materi pelajaran yang biasanya ditulis oleh seorang pengajar yang dicetak secara sederhana dengan stensilan.

Tentu tampilan hasil stensil sangat jauh mutunya di bawah buku yang dicetak seperti yang dijual di toko buku. Tapi sampai dekade 1980-an, saat komputer belum banyak digunakan, mesin ketik menjadi barang yang lazim dimiliki para mahasiswa, apalagi dosen.

Penggunaan mesin foto kopi pun sampai awal tahun 80-an masih langka dan mahal. Agar hasil ketikan gampang diperbanyak, harus diketik di kertas khusus sebagai master yang nanti diperbanyak dengan mesin stensil.

Nah, dosen yang rajin mengetik materi perkuliahan setiap minggunya, bisa dikumpulkan menjadi diktat kuliah. Hal ini tentu suatu hal yang positif. Tapi menjadi tidak sehat bila sang dosen mewajibkan semua mahasiswa yang mengambil mata kuliah yang diajarkannya untuk membeli diktat. 

Celakanya, bagi mahasiswanya yang tidak membeli diktat, baik karena tak punya uang, atau karena merasa bisa meminjam dari mahasiswa angkatan sebelumnya, terancam tidak lulus.

Baiklah, itu cerita lama. Tapi siapa yang menyangka ternyata sekarang masih ada dosen yang seperti itu, walaupun bukan lagi menjual diktat, namun berupa buku.

Baru-baru ini saya dikejutkan dengan keluhan seorang mahasiswa yang kebetulan bertemu dengan saya di sebuah acara. 

Ceritanya masih ada dosen yang mewajibkan semua mahasiswa yang mengikuti kelasnya untuk membeli buku materi perkuliahan, dengan menunjukkan struk pembelian sebagai bukti. Struk pembelian itu akan disimpan oleh sang dosen, sehingga tidak bisa dipinjam oleh teman lain.

Sebetulnya membeli buku, tanpa dipaksapun, sudah hal yang lumrah dilakukan mahasiswa. Hanya saja karena buku tersebut karangan si dosen itu sendiri, ada kecurigaan sebagai sebuah tindakan yang bermotif mencari keuntungan secara paksa.

Ancamannya, paling tidak dari pengalaman mahasiswa di angkatan sebelumnya, bila ada mahasiswa yang tidak membeli buku dimaksud, si mahasiwa tidak akan diluluskan pada mata kuliah itu.

Menjadi sulit untuk membuktikan, apakah memang mahasiswa yang tidak lulus itu gara-gara tidak membeli buku, atau karena tidak mampu menjawab soal ujian tengah semester dan ujian akhir semester.

Bahwa ada dosen yang menulis buku materi perkuliahan, tentu perlu diberikan apresiasi. Tapi harusnya si dosen terbuka wawasannya dengan tidak menjadikan bukunya sebagai satu-satunya referensi.

Biarkan mahasiswa membanding-bandingkan beberapa buku teks dan memilih buku mana yang mau dibelinya. Bahkan bagi mahasiswa yang lagi tidak punya uang yang cukup, berselancar di dunia maya pun, mencari materi perkuliahan yang relevan, juga sah-sah saja. 

Harga buku yang berada di kisaran Rp 100.000 untuk buku setebal sekitar 400 halaman, bukan hal yang murah bagi sebagian mahasiswa. 

Toh sekarang ini banyak materi perkuliahan yang bisa di-googling dan tersedia secara gratis, asal tersedia jaringan internet. Sepanjang mahasiswa mampu menguasai materi kuliah yang indikatornya adalah mampu menjawab soal ujian secara benar, membeli buku atau tidak, bukan hal yang relevan.

Kalaupun buku secara fisik harus dibawa saat perkuliahan berlangsung, bolehkan saja para mahasiswa meminjamnya dari perpustakaan atau dari mahasiswa kelas lain atau angkatan sebelumnya yang kebetulan punya buku yang sama.

Dosen sebaiknya juga mampu memberi contoh perlakuan yang fair pada semua mahasiswa sebagai bagian dari pendidikan karakter. Pemaksaan membeli buku dengan iming-iming pasti lulus bukan teladan yang baik bagi para mahasiswa.

Memang tindakan dosen seperti itu mungkin belum sampai bisa disebut dengan melacurkan ilmu. Tapi bila ini berkembang lebih jauh, bukan tidak mungkin akhirnya memunculkan tindakan lain yang lebih parah.

Contohnya bila ada dosen yang ikut mencari keuntungan pribadi dari mahasiswa yang di bimbingnya dalam menyusun skripsi. Bisa pula meminta mahasiswa melalukukan penelitian, yang sebetulnya ada honornya, namun honor itu masuk saku sang dosen.

Sebaiknya kampus sebagai kawah candradimuka pencetak pewaris masa depan bangsa, harus tetap menjadi tempat yang ideal untuk membangun karakter yang baik. Semua itu menuntut peran aktif para dosen sebagai role model. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun