Peringkat Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang berasal dari sejumlah negara maju, masih di bawah beberapa negara Asia Tenggara. Itulah yang terungkap dari pemaparan Tim Riset Bahana Sekuritas untuk kalangan terbatas, Jumat (7/2/2020) yang lalu.
Sebagai contoh, di antara sesama negara ASEAN, peringkat Indonesia berada di bawah Vietnam, Malaysia dan Thailand, sebagai tujuan investasi dari investor Amerika Serikat. Sedangkan dari investor Uni Eropa, Indonesia masih di bawah Vietnam dan Filipina.
Bahkan kalau dilihat dari indikator perbandingan antara foreign direct investment (investasi asing secara langsung) terhadap gross fixed capital formation (pembentukan modal tetap bruto), pada tahun 2018 hanya sebesar 7 persen. Padahal secara rata-rata untuk Asia Tenggara adalah 19 persen.
Keluhan utama investor asing yang berminat melakukan investasi di negara kita antara lain tentang adanya peraturan yang saling bertentangan, ketentuan ketenagakerjaan yang terlalu rigid (kaku) dan masih adanya hambatan birokrasi.
Investasi asing menjadi sangat penting karena pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir ini mentok di angka 5 persen, dirasakan belum cukup nendang terutama dalam menciptakan lapangan kerja.
Nah mengingat beberapa hal yang menjadi keluhan investor di atas, akhirnya pemerintah kebelet untuk melahirkan Omnibus Law (selanjutnya ditulis OL) yang sering disebut juga sebagai Undang-undang (UU) Sapujagat. Â
UU ini bersifat lintas sektor dan diyakini pemerintah akan menjadi jawaban yang tepat untuk mendorong masuknya investasi asing. Ada 74 peraturan yang berkaitan dengan investasi yang direvisi secara serentak.
Jadi, jangan heran bila "roh" dari OL lebih market friendly. Ada kesan bahwa dengan OL maka akan terakomodasi aspirasi dari para investor.
Mengacu pada pemberitaan di media massa, OL yang sekarang masih berupa draft atau masih berupa Rancangan Undang-undang (RUU), menyasar tiga hal, yakni ketentuan perpajakan, penciptaan lapangan kerja, dan pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).Â
Bila melihat komposisi anggota DPR yang mayoritas berasal dari partai koalisi pendukung pemerintah, logikanya akan gampang untuk menyetujui RUU tersebut menjadi UU.
Masalahnya, paling tidak untuk RUU Cipta Kerja, penolakan sudah datang bertubi-tubi dari berbagai elemen masyarakat, khususnya kelompok serikat pekerja, buruh, atau kelompok lain yang berkaitan dengan ketenagakerjaan.
Penolakan itu terutama dipicu dengan perubahan ketentuan pengupahan dan hak-hak pekerja lainnya, yang dirasakan lebih buruk dari yang sekarang berlaku.Â
Posisi pekerja juga terancam dengan semakin mudahnya prosedur yang harus dilakukan manajemen perusahaan dalam mem-PHK pekerja.
Para pekerja juga menyimpulkan bahwa dengan OL ketentuan jam kerja akan bersifat eksploitatif. Selain itu diduga akan semakin banyak pekerja yang berstatus outsourcing atau tenaga kontrak. Di lain pihak akan semakin mudah mendatangkan pekerja asing.
Tentu saja pemerintah dan DPR tidak bisa mengabaikan penolakan tersebut. Bagaimanapun juga, tenaga kerja adalah salah satu elemen penting dalam suksesnya suatu investasi.
Memaksakan pengesahan OL demi menjaring masuknya investasi asing, akan menjadi sebuah pertaruhan besar, karena ada beberapa pihak yang merasa dikorbankan, terutama tenaga kerja.
Selain itu banyak pula pemerintah daerah yang terusik, karena kewenangannya dipangkas dan sekaligus juga berpotensi mengurangi pemasukan daerah. Contohnya, isu peniadaan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), padahal selama ini menjadi sumber pendapatan daerah.
Seperti disinggung di atas, selain soal tenaga kerja, OL juga akan mengatur ulang ketentuan perpajakan, termasuk dengan mengurangi tarif pajak penghasilan bagi perusahaan.Â
Sekarang, dari laba tahunan yang diperoleh perusahaan, terkena pajak penghasilan sebesar 25 persen. Rencananya nanti akan dikurangi jadi 22 persen pada 2021 dan 20 persen mulai 2022.
Harapannya, meskipun tarif pajak dikurangi, pemerintah tetap akan mendapatkan pemasukan yang cukup, bahkan lebih besar dari yang didapat sekarang, karena itu tadi, peningkatan investasi.Â
Dengan investasi yang meningkat, dan dengan asumsi semuanya berjalan lancar, ujung-ujungnya perolehan laba masing-masing perusahaan juga melonjak. Pada gilirannya jumlah pajak yang disetorkan perusahaan pun naik, sehingga bisa mengkompensasi persentase tarif yang turun tersebut.
Bayangkan bila OL gagal menjaring investasi, tentu akan menjadi pukulan telak bagi pemerintah. Penerimaan pajak akan menurun, sementara gejolak tuntutan dari kelompok serikat pekerja yang sejak awal sudah menolak OL, tak akan surut.
Tak ada jalan lain, pemerintah tak perlu tergesa-gesa mengeluarkan OL, walaupun target semula harus sudah tuntas pada pertengahan tahun ini. Pertemuan dua kepentingan yang berbeda, pengusaha dan pekerja, perlu diupayakan segara.Â
Masing-masing pihak perlu duduk bersama dengan pemerintah atau DPR sebagai fasilitator. Pengusaha pasti membutuhkan pekerja, demikian pula sebaliknya. Seharusnya akan ada titik temu di antara keduanya.
Namun bila masing-masing melakukan tuntutan yang bersifat "harga mati" tanpa ada ruang untuk negosiasi, alamat akan terjadi kebuntuan. Ini jelas bukan hal yang kita harapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H