Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jangan Mau Jadi Karyawan yang Medioker, tapi Jangan Pula ABS

1 Mei 2020   00:07 Diperbarui: 2 Mei 2020   04:21 1801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja | Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Dulu, di awal saya memulai karier di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, berkali-kali bos saya mengumpulkan staf yang baru direkrut seperti saya. Tujuannya bukan memberikan pengarahan tentang apa yang harus dikerjakan, namun lebih banyak untuk membakar semangat para staf baru. 

Kalimat si bos yang paling sering saya ingat adalah: "Jangan mau jadi karyawan yang medioker". Maksudnya bila kita berada dalam satu kelompok, jadilah seorang yang menonjol, bukan hanya bisa melakukan seperti apa yang dilakukan karyawan lain.

Tapi, apa makna sesungguhnya dari kalimat itu, lama kemudian baru bisa saya pahami, ketika masa kerja yang saya tempuh telah terbilang di atas 5 tahun. Soalnya, pada tahun-tahun awal, belasan orang dari kami yang sama-sama memulai karier, nasibnya relatif sama, tanpa melihat siapa yang lebih menonjol.

Mungkin saja atasan kami sudah punya catatan bahwa di antara kami tentu ada yang di mata atasan lebih baik dari yang lain. Hanya saja setelah melewati satu tahun masa percobaan, semua kami diangkat jadi pegawai tetap dengan jabatan staf junior. 

Artinya, yang menonjol atau yang rata-rata, statusnya sama, otomatis gaji yang diterima juga sama.

Demikian juga dua tahun setelah itu, kami semua naik lagi satu step, sama-sama dipromosikan menjadi staf (embel-embel juniornya hilang). Namun, untuk naik lebih tinggi lagi, tidak mungkin bareng-bareng, karena secara struktur organisasi terlihat seperti sebuah piramid. Maksudnya makin mengerucut ke atas. 

Tentu tak mungkin kami belasan orang sama-sama promosi lagi jadi staf senior, wakil kepala bagian, kepala bagian, wakil kepala divisi dan kepala divisi. 

Atau kalau kami dipindahkan ke daerah, urutan kariernya setelah menjadi staf senior adalah manajer pemasaran atau manajer operasional, kepala cabang pembantu, kepala cabang di kota kecil, kepala cabang di kota sedang, kepala cabang di kota besar, wakil kepala wilayah, dan kepala wilayah.

Setelah menjadi kepala divisi atau kepala wilayah (keduanya setara), karier seseorang boleh dikatakan sudah mentok. Untuk naik ke jabatan selanjutnya adalah jabatan "politis" karena sudah level direktur yang menjadi kewenangan Kementerian BUMN (tempat saya bekerja merupakan perusahaan milik negara). 

Tapi bagi segelintir orang yang mampu mendapatkan akses ke pusat kekuasaan, target menjadi direktur ibarat sudah harga mati. Mereka yang seperti ini selalu punya cara untuk melejit jauh lebih tinggi, bahkan sampai menduduki kursi direktur utama.

Jelaslah, ibarat ada lomba maraton, ketika di garis start, semua peserta bergerombol, tapi makin lama makin terlihat siapa saja yang mampu melesat ke depan. Apalagi jalan yang dilewati makin menyempit, dari dua belas jalur menjadi delapan jalur, enam jalur, empat jalur, dua jalur, dan akhirnya hanya satu jalur saja.

Maka jelaslah bahwa antar sesama karyawan secara otomatis akan tercipta persaingan. Perusahaan yang dikelola secara baik sudah punya jalur karier yang jelas dan menciptakan iklim persaingan antar karyawan yang sehat.

Yang akan berhasil melesat ke depan bukan karyawan yang punya hubungan famili dengan direktur utama atau bukan karena berani memberikan gratifikasi buat para pengambil keputusan.

Mereka yang prestasi kerjanya di atas yang lain lah yang akan moncreng kariernya. Inilah orang yang tidak puas menjadi medioker. Mereka selalu punya cara tersendiri agar apapun target yang ditetapkan atasannya, berhasil dicapainya dengan baik, bahkan dilewatinya.

Merekalah orang-orang yang kreatif yang tidak hanya mampu mengerjakan tugas sehari-hari yang cenderung monoton, tapi juga muncul dengan ide-ide segar berupa pendekatan baru untuk bekerja secara lebih sistematis, lebih cepat, dan lebih akurat.

Ide kreatif itu bisa pula dalam rangka menciptakan produk baru atau menyempurnakan produk lama, punya langkah terobosan untuk memperluas pasar dengan menambah jumlah pelanggan yang loyal menggunakan produk atau jasa yang dijual perusahaan tempatnya bekerja.

Dari pengamatan saya, segelintir teman-teman saya yang akhirnya berhasil lebih cepat dalam meraih posisi yang lebih tinggi, memang punya etos kerja yang berbeda, tidak medioker. 

Bila yang lain banyak ngobrol santai dan baru kelihatan sibuk ketika bos melihat, maka yang tidak medioker selalu tekun dan penuh konsentrasi dalam bekerja, baik saat dilihat maupun saat tidak dilihat atasannya.

Namun yang hanya tekun bekerja dan kurang banyak bergaul dengan staf lain, termasuk staf dari divisi lain dalam rangka menjalin kerja sama, mungkin cepat kariernya naik, tapi hanya hingga meraih level tengah saja, katakanlah hingga jabatan kepala bagian.

Jadi, bila hanya sekadar rajin, barangkali itu yang disebut dengan bekerja keras. Tapi ini belum cukup, karena yang lebih dibutuhkan adalah bekerja cerdas. Soft skill berupa kemampuan yang baik dalam berinteraksi dengan semua lapisan di perusahaan, akan sangat menentukan "kecerdasan" dalam bekerja.

Bagaimana seseorang mampu menarik perhatian atasannya langsung, atasan di divisi lain, kalau bisa juga menarik perhatian direksi, menjadi penting. Selain itu, kemampuan bekerja sama dengan teman-temannya selevel (disebut juga peers) lintas divisi, sangat diperlukan pula. 

Demikian pula dalam mengelola para junior, baik anak buah langsung maupun junior di divisi lain.

Alangkah kurang bagusnya bila seseorang dicap sebagai "penjilat" ke atasan karena saking seringnya memberikan laporan bagus ke atasan atau selalu memuji-muji atasan, namun menginjak ke bawah. Maksudnya ke anak buah suka marah-marah tanpa bisa memberikan solusi atas kesalahan anak buah.

Memang perlu hati-hati dalam memuji atasan, apalagi bila terbiasa bertindak ABS (asal bapak senang). Pola komunikasi yang baik adalah memulai laporan atau pembicaraan dengan memberikan dukungan atas kebijakan atasan. 

Tapi setelah itu, mereka yang kreatif akan mampu melengkapi kebijakan itu dengan usul baru yang bersifat menyempurnakan atau melengkapi.

Sedangkan atas laporan yang bagus-bagus saja, ini keliru, salah-salah malah bisa jadi bom waktu. Setiap melaporkan hasil kerja memang sebaiknya dimulai dengan hal baik, yakni tentang apa yang telah berhasil dicapai dari yang telah diinstruksikan atasan.

Namun setelah itu jangan lupa melaporkan masalah atau kendala yang dihadapi secara jujur. Kemudian ditutup dengan menyampaikan rencana tindak lanjut untuk mengatasi masalah atau kendala di atas. 

Jangan lupa pula kata-kata pamungkas "mohon arahan bapak", karena ini sangat khas Indonesia, terutama di lingkungan BUMN.

Padahal sebetulnya atasan telah dimanjakan oleh bawahannya yang kreatif. Jadi, yang dimaksud dengan mohon arahan tersebut, hanya sekadar menunggu restu terhadap rencana yang dilaporkan itu tadi. Bila bos sudah senang dan percaya, promosi jabatan tinggal soal waktu.

Tapi soal keinginan untuk dipromosikan ini, tidak perlu diperlihatkan secara terang-terangan. Budaya kita tidak suka dengan orang yang ambisius. Namun dengan memberikan yang terbaik untuk perusahaan, total dalam bekerja, ini sudah menjadi modal yang baik.

Kalaupun teman sendiri yang justru lebih dulu dipromosikan, jangan perlihatkan rasa iri, berikan ucapan selamat dengan tulus, dan dukung sepenuhnya agar si teman sukses. 

Teman yang lebih awal dipromosikan, biasanya tidak akan melupakan teman-teman baiknya yang sudah mendukung dan bekerjasama dengan baik sebelumnya. Walaupun sedikit terlambat, tetap syukuri bila akhirnya juga dipromosikan. Toh semua akan indah pada waktunya.

Terakhir, kenapa harus berbaik-baik pula dengan para junior? Bukankah mereka tidak punya power membantu kareir atasannya? Eit, jangan lupa, sebagus apapun sebuah ide, yang akan menjadi pelaksana di lapangan adalah para anak buah tersebut.

Anak buah yang bekerja dengan happy karena dipimpin oleh atasan yang disukainya, pada gilirannya menjadi prestasi bagi si atasan yang akan melapangkan jalannya untuk naik ke posisi yang lebih tinggi.

Dok. bbc.com
Dok. bbc.com
.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun