Sayangnya, kemungkinan besar proyek tersebut sulit untuk diwujudkan karena alasan tertentu. Paling tidak itulah kesan yang didapat bila membaca berita tentang hal ini di media massa.
Sebagai contoh, tribunnews.com (24/1/2020), memuat respon beberapa tokoh masyarakat dan juga pejabat di Bali terkait rencana pembangunan Jalan Tol Ketapang-Gilimanuk.
Perlu diketahui rencana tersebut datang dari instansi yang berwenang, yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Ditargetkan pada 2021 mendatang Jalan Tol Probolinggo-Banyuwangi sebagai ruas paling ujung dari Jalan Tol Trans Jawa, akan tersambung dengan Jalan Tol Gilimanuk-Tabanan di Pulau Bali.
Gilimanuk terletak di Kabupaten Jembrana. Nah, masalahnya Pemerintah Kabupaten Jembrana sendiri tegas menolak rencana di atas.
Menurut Bupati Jembrana, I Putu Artha, penolakan tersebut bagian dari aspirasi masyarakat Bali. Namun Kepala Dinas PUPR Bali, I Nyoman Astawa Riadi, menyatakan belum berani berkomentar banyak mengenai rencana penyambungan jalan tol itu.
Masih dari tribunnews.com, ditulis juga bahwa pembangunan penghubung Tol Ketapang-Gilimanuk ini merupakan ulangan dari rencana pembangunan jembatan Jawa-Bali beberapa tahun lalu yang gagal karena ditolak masyarakat Bali.
Memang ada kekhawatiran bahwa bila Jawa menyatu dengan Bali, maka tingkat kriminalitas di Bali akan meningkat. Ada juga kekhawatiran dengan bertambahnya kepadatan penduduk.
Namun yang paling penting untuk diperhatikan adalah alasan penolakan yang lebih bersifat spiritual. Dalam hal ini ada kepercayaan bahwa bila Jawa-Bali disambungkan akan terjadi malapetaka bagi warga Bali.
Jelaslah ada masalah pelik yang sulit dicarikan solusinya bila hendak menyambungkan Jawa dan Bali. Kepercayaan masyarakat bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng.
Memang di Bali sendiri dulunya terkenal sebagai pulau yang sangat aman. Tapi sejak banyaknya pendatang dari luar Bali yang mencari nafkah seiring kemajuan pariwisata di sana, mulai relatif sering terjadi tindak kriminal seperti pencurian.