Ketika Kompasiana menampilkan featured article yang diambil dari tulisan Gapey Sandy berjudul "Bobot Arya Kian Susut Usai Operasi Bariatric Surgery", saya tidak ngeh, ada apa dengan Arya? Lebih dari dua tahun lalu, wajah bocah penderita obesitas yang sangat parah itu, sering muncul di layar kaca sebagai objek pemberitaan.
Memang, hebatnya Kompasiana, selalu bila terjadi sesuatu, pihak pengelola rajin mencari arsip tulisan yang pernah tayang yang ada kaitannya dengan topik yang lagi hangat saat ini. Rupanya kisah Arya Permana, anak Desa Cipurwasari, Kecamatan Tegal Waru, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tersebut kembali jadi perbincangan masyarakat.
Pas saya menonton tayangan salah satu stasiun televisi pagi Jumat (24/1/2020) yang menampilkan wawancara dengan Ade Rai, baru saya menyadari bahwa ternyata di media sosial lagi ramai komentar tentang keberhasilan Arya menurunkan berat badannya secara fantastis.Â
Betapa tidak, tahun 2017 silam beratnya masih 193 kg. Saya yang saat itu juga beberapa kali menonton tayangan televisi yang meliput Arya, sungguh kaget melihat ada bocah yang masih berusia 10 tahun, tapi ukuran tubuhnya sangat raksasa, yang sekadar berjalan saja sudah ngos-ngosan.
Lalu sekarang bobotnya relatif normal, tinggal 83 kg saja. Memang idealnya masih harus diturunkan 10 kg lagi. Namun menurut saya, ada orang yang bisa menurunkan berat badan sebanyak 110 kg selama sekitar 2 tahun, sudah melebihi ekspektasi.
Soalnya saya sendiri yang juga mengalami kelebihan berat badan sekitar 10 kg di atas berat ideal sejak sekitar 25 tahun lalu, hanya bisa menurunkan berat badan sekitar 3 hingga 4 kg saja. Itupun bila saya kurang disiplin dalam memilih makanan dan kurang berolahraga, berat badan kembali naik.
Demikian juga teman-teman saya yang telah mencoba berbagai metode diet, menurut pengamatan saya, tingkat keberhasilannya amat minim dan bersifat temporer.
Untuk kasus Arya, selain karena penanganan yang bersifat medis seperti melalui operasi yang ditulis oleh Gapey Sandy di atas, ternyata orang yang berperan penting bagi keberhasilan Arya adalah binaragawan terkenal, Ade Rai.
Dalam wawancara Ade dengan reporter televisi, ada  hal yang menarik perhatian saya. Beberapa kali reporter televisi meminta konfirmasi atas kesimpulannya bahwa faktor motivasi menjadi kunci utama suksesnya Arya.
Tapi berulang-ulang pula Ade sepertinya sengaja tidak menggunakan istilah motivasi. Justru karena Arya melakukan exercise dengan senang hati, ibarat anak-anak yang menikmati permainan, itulah yang menjadi kunci.
Tampaknya istilah motivasi terlalu tinggi, seperti anak sekolah belajar habis-habisan agar dapat nilai bagus. Tapi bukankah belajar keras belum tentu dilakukan dengan senang hati? Ada nuansa terbebani, bila memakai istilah motivasi.Â
Seperti dilansir dari liputan6.com, Ade berminat melatih Arya karena ingin mengubah nasib orang lain yang mengalami masalah obesitas. Dalam melatih Arya, Ade tidak pernah memaksa. Kalau Arya capek, disuruh berhenti dulu.
Melalui akun media sosialnya, Ade bahkan menulis bahwa bukan dirinya yang berhasil menurunkan berat badan Arya, tapi karena perilaku Arya sendiri dan juga perubahan pola pikir kedua orang tuanya yang menjadi lebih peduli dengan kesehatan.
Sedangkan Ade sendiri menyebut tugasnya sebagai cheerleader atau pemandu sorak bagi aktivitas fisik yang dilakukan Arya. Tapi tentu saja Ade mengungkapkan hal itu sebagai gaya low profile saja. Kalau tidak ada pemandu yang berpengalaman dan memakai metode yang menyenangkan, belum tentu seberhasil ini.
Apalagi Ade tidak hanya melatih olah fisik saja, tapi juga mengatur pola makan, pola istirahat, dan yang terpenting memberikan pemahaman yang benar pada orang tua Ade.
Saya ingin mengangkat "kolaborasi dengan senang hati" sebagai hal penting. Bagi Arya dan keluarganya sangat jelas keuntungannya, jadi tak perlu dielaborasi lagi.
Namun, kalau Ade juga senang hati, kira-kira apa keuntungannya? Bukankah ia rugi waktu, dan sejumlah peluang mungkin jadi hilang. Coba kalau ia menjadi pelatih di pusat kebugaran yang pesertanya orang-orang yang mampu membayar mahal, bukankah Ade makin bertambah pundi-pundinya?
Nah, terlepas dari kepuasan psikologis karena membantu orang lain, dan juga terlepas dari mendapat pahala bila dilihat dari kacamata agama, toh secara ekonomis pun sebetulnya ada manfaat yang dipetik Ade.
Dengan bukti nyata keberhasilan Ade menangani Arya, tak pelak lagi, ini promosi yang sangat efektif, sehingga publik semakin yakin akan keahlian yang dimilikinya.
Makanya, jangan mengira berbagai perusahaan yang sering melakukan aksi sosial, hanya semata-mata urusan sosial. Ada aspek promosi dan citra baik perusahaan yang ikut terdongkrak.
Tapi sebaiknya memang dari awal diniatkan sebagai aksi sosial, dan soal dampak positif bagi perusahaan dilihat sebagai efek samping saja.Â
Kalau ada orang yang tidak mau melakukan aksi sosial bila tidak ada sorotan kamera dari para jurnalis, maka niatnya "berkolaborasi dengan senang hati" tidak dilakukan secara ikhlas.Â
Sesuatu yang tidak ikhlas, gampang terbaca oleh publik dan dampaknya menaikkan citra belum tentu tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H