Tak ada yang meragukan betapa pentingnya pendidikan formal bagi seseorang. Tapi seorang anak muda bernama Chaerul yang karena orang tuanya tidak punya biaya, terpaksa berhenti sekolah di Kelas 5 Sekolah Dasar (SD) di Pinrang, Sulawesi Selatan, mampu menghasilkan sesuatu yang luar biasa, merakit pesawat terbang.
Chaerul setelah tidak sekolah bekerja di sebuah bengkel motor. Tapi dari kecil ia sudah punya minat untuk membuat pesawat, meskipun sampai sekarang ia belum pernah naik pesawat terbang. Tidak bersekolah bukan menjadi alasan bagi Chaerul untuk tidak mewujudkan impiannya.
Memang impian itu baru terwujud saat Chaerul berusia 40 tahun. Namun hal itu membuktikan bahwa faktor kemauan dan semangat pantang menyerah menjadi modal paling utama bagi seseorang untuk menggapai cita-citanya.
Seperti dilansir dari kompas.com (17/1/2020), sebetulnya pada tahun 2002, dengan berbekal pengetahuannya sebagai montir, Chaerul sudah mencoba merakit helikopter, namun gagal.
Dengan semangat yang tak pernah padam, ditambah lagi dengan tersedianya sarana belajar dari aplikasi YouTube, seperti dikatakan Chaerul dalam wawancaranya dengan salah satu stasiun televisi nasional, akhirnya Rabu (15/1/2020) pesawat kecil bermuatan satu orang yang dirakit Chaerul berhasil terbang selama setengah jam di sebuah lokasi di pinggir pantai Pinrang.
Keberhasilan tersebut merupakan percobaan yang keenam. Aksi percobaan terbang, dari yang gagal karena badan pesawat tidak mampu naik, malah terpeleset  berbelok arah, sampai yang berhasil melayang di atas laut dan berputar arah sebelum mendarat, ditayangkan oleh beberapa stasiun televisi.
Pesawat kecil ciptaan Chaerul tersebut terbuat dari barang bekas dengan memakai mesin motor Kawasaki Ninja RR 150 CC. Sayap pesawat dibuat dari parasut bekas yang  biasanya dipakai untuk penutup bodi mobil yang lagi diparkir agar tidak kehujanan atau kepanasan. Baling-balingnya dari kayu dan ban gerobak dijadikan ban pesawat.
Adapun dana yang dihabiskan Chaerul sebesar Rp 23 juta, terdiri dari Rp 15 juta untuk membeli mesin motor dan sisanya untuk membuat badan pesawat. Karena sibuk dengan pekerjaan sehari-hari di bengkel, Chaerul mengerjakan pesawat rakitan itu pada malam hari.
Banyak warga setempat yang awalnya menertawakan Chairul, tapi ia tidak peduli. Beruntung ada dua temannya di bengkel, Yusuf dan Wawan, yang mau membantu. Ada pula mantan penerjun Kopassus Kapten Halid yang punya pengetahuan tentang pesawat jenis ultralight yang mendampingi Chaerul.
Aksi terbang Chaerul disambut meriah oleh beberapa orang yang menyaksikan langsung. Dalam tayangan televisi terdengar teriakan penyemangat dari beberapa penonton dalam bahasa lokal.
Saat diwawancarai reporter televisi terlihat Chaerul agak mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan. Chaerul lebih merupakan seorang pekerja keras dan bukan orang yang suka berbicara. Reporter pun terpaksa mencari kata-kata yang sederhana agar gampang direspon oleh Chairul.
Tapi seorang pakar dirgantara yang juga menjadi narasumber di stasiun televisi yang sama mengakui kehebatan Chaerul. Meskipun tidak belajar di bangku pendidikan formal, mekanisme dasar dari cara bekerjanya pesawat sudah dipahami Chaerul.
Namun pakar tersebut menyarankan agar Chaerul dapat kesempatan berdiksusi dengan dosen bidang yang relevan di Institut Teknologi Bandung (ITB) agar bisa menghasilkan pesawat yang lebih baik. Memang itu jugalah yang diharapkan Chaerul.
Banyak orang yang berpendidikan tinggi dan memahami teori, namun gagap saat menerapkan teori yang dipelajarinya. Sebaliknya ada segelintir orang yang tanpa dibekali teori, dengan metode trial and error, berhasil menghasilkan karya nyata yang bermanfaat.Â
Terhadap segelintir orang dimaksud alangkah baiknya bila pemerintah memberikan perhatian khusus, sehingga menjadi aset yang berguna bagi pembangunan nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H