Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kenapa Peristiwa 15 Januari 1974 Seperti Terlupakan?

15 Januari 2020   19:09 Diperbarui: 15 Januari 2020   19:20 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa 15 Januari 1974 atau yang populer disebut dengan Peristiwa Malari (Limabelas Januari), sepertinya terlupakan oleh sebagian besar masyarakat. 

Apalagi media massa pun tidak meramaikannya. Tak banyak tulisan, berita, tayangan televisi, atau acara yang dikhususkan untuk mengingatnya.

Padahal hari ini, Rabu (15/1/2020), tepat menjadi hari ulang tahun ke-46 peristiwa yang membuat sebagian kawasan di Jakarta membara ketika itu.

Pada tahun 1974, saya baru kelas dua SMP di Payakumbuh, Sumbar. Ayah saya yang memang setiap hari berlangganan koran lokal terbitan Padang, khusus beberapa hari sebelum meletus peristiwa Malari membeli koran Salemba, koran kampus Universitas Indonesia (UI) yang juga dijual untuk umum.

Meski tidak begitu mengerti, dari koran itu saya sudah mampu membayangkan bahwa kondisi di Jakarta lagi kritis, karena para mahasiswa yang dimotori oleh aktivitas Dewan Mahasiswa UI yang diketuai Hariman Siregar, punya agenda untuk berdemonstrasi secara besar-besaran.

Demonstrasi itulah akhirnya yang berkembang menjadi peristiwa makar. Ada massa yang mendompleng aksi mahasiswa, sehingga kerusuhan tidak terhindarkan.

Maka korban pun berjatuhan. Tercatat 11 orang meninggal, 75 orang luka berat, ratusan mobil dan sepeda motor rusak, serta lebih dari 100 bangunan atau gedung hangus dibakar, serta 160 kg emas raib. Pertokoan dan perkantoran di Pasar Senen dan Harmoni juga dibakar dan dijarah oleh massa (elshinta.com, 15/1/2020).

Apa yang dituntut mahasiswa ketika itu? Mahasiswa menilai strategi pembangunan yang dilakukan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto sudah salah arah karena terlalu bertumpu pada modal asing, terutama dari Jepang.

Tak heran kalau kunjungan resmi Perdana Menteri Jepang waktu itu, Kakuei Tanaka, 14-17 Januari 1974, menjadi momen bagi mahasiswa untuk beraksi. Mobil dan sepeda motor yang dibakar massa adalah buatan Jepang. 

Namun ada juga teori lain yang berkembang menurut versi banyak pengamat terkait peristiwa amuk massa itu, yang dikaitkan dengan rivalitas antar pejabat militer.

Rivalitas tersebut berupa rebutan pengaruh antara Asisten Presiden (Aspri) Ali Moertopo dan Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro.

Mahasiswa sebetulnya gerah dengan Ali Moertopo yang diduga sebagai orang kepercayaan Soeharto. Setelah Malari, jabatan Aspri dibubarkan oleh Soeharto dan Soemitro juga kehilangan posisi.

Sejak itulah Soeharto semakin menekan kebebasan sipil dan mahasiswa pun dipaksa untuk fokus belajar dan tidak ikut-ikutan berpolitik. Tokoh-tokoh mahasiswa yang dinilai menggerakkan Peristiwa Malari ditahan dan beberapa media cetak dicabut izin terbitnya.

Pada tahun 1978 Dewan Mahasiswa ditiadakan dan dunia kampus memasuki periode yang disebut dengan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus-Badan Koordinasi Kemahasiswaan).

Dengan NKK-BKK, mahasiswa menjadi "mandul" dan kekuasaan Soeharto langgeng sampai ditumbangkan gerakan reformasi yang juga dimotori para mahasiswa tahun 1998.

Nah, jelaslah bahwa peran mahasiswa, tak bisa dipungkiri, sangat besar dalam sejarah Indonesia. Tapi kenapa yang terkenal cuma angkatan 1966 yang menumbangkan Soekarno dan angkatan 1998 yang menjatuhkan Soeharto?

Lalu kenapa angkatan 1974 seperti terlupakan? Gampang ditebak, sejarah ditulis oleh kelompok pemenang. Angkatan 66 dan 98 adalah sang pemenang yang merobohkan tembok besar kekuasaan yang telah berurat berakar.

Sedangkan angkatan 74 adalah sang pecundang, makanya disebut kelompok yang melakukan makar. Bayangkan kalau angkatan 98 gagal menjatuhkan Soeharto, tentu para mahasiswa juga mendapat gelar pemberontak, bukan pahlawan reformasi seperti yang disematkan saat ini.

Meskipun disebut makar, Peristiwa Malari tetap layak dikenang untuk diambil hikmahnya. Paling tidak pemerintah sekarang jangan mengikuti jejak Orde Baru yang sangat bergantung pada modal asing.

Dulu terjadi sentimen anti Jepang, sekarang tampaknya mengarah ke anti Cina. Agar tidak berkembang menjadi hal yang tidak diharapkan, pemerintah harus pintar-pintar dalam mengelola modal asing. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun