Mahasiswa sebetulnya gerah dengan Ali Moertopo yang diduga sebagai orang kepercayaan Soeharto. Setelah Malari, jabatan Aspri dibubarkan oleh Soeharto dan Soemitro juga kehilangan posisi.
Sejak itulah Soeharto semakin menekan kebebasan sipil dan mahasiswa pun dipaksa untuk fokus belajar dan tidak ikut-ikutan berpolitik. Tokoh-tokoh mahasiswa yang dinilai menggerakkan Peristiwa Malari ditahan dan beberapa media cetak dicabut izin terbitnya.
Pada tahun 1978 Dewan Mahasiswa ditiadakan dan dunia kampus memasuki periode yang disebut dengan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus-Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Dengan NKK-BKK, mahasiswa menjadi "mandul" dan kekuasaan Soeharto langgeng sampai ditumbangkan gerakan reformasi yang juga dimotori para mahasiswa tahun 1998.
Nah, jelaslah bahwa peran mahasiswa, tak bisa dipungkiri, sangat besar dalam sejarah Indonesia. Tapi kenapa yang terkenal cuma angkatan 1966 yang menumbangkan Soekarno dan angkatan 1998 yang menjatuhkan Soeharto?
Lalu kenapa angkatan 1974 seperti terlupakan? Gampang ditebak, sejarah ditulis oleh kelompok pemenang. Angkatan 66 dan 98 adalah sang pemenang yang merobohkan tembok besar kekuasaan yang telah berurat berakar.
Sedangkan angkatan 74 adalah sang pecundang, makanya disebut kelompok yang melakukan makar. Bayangkan kalau angkatan 98 gagal menjatuhkan Soeharto, tentu para mahasiswa juga mendapat gelar pemberontak, bukan pahlawan reformasi seperti yang disematkan saat ini.
Meskipun disebut makar, Peristiwa Malari tetap layak dikenang untuk diambil hikmahnya. Paling tidak pemerintah sekarang jangan mengikuti jejak Orde Baru yang sangat bergantung pada modal asing.
Dulu terjadi sentimen anti Jepang, sekarang tampaknya mengarah ke anti Cina. Agar tidak berkembang menjadi hal yang tidak diharapkan, pemerintah harus pintar-pintar dalam mengelola modal asing.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H